Tubuh Drag-Queen: Medan Pergelaran Gender yang Tanpa Cela(h)
Pertunjukan drag-queen terlihat sebagai tontonan yang semakin kentara di ruang publik. Jika beberapa tahun berselang, pementasan yang menampilkan seseorang, kebanyakan lelaki, dalam tampilan lawan-gendernya ini masih menjadi tontonan kalangan terbatas, seperti di bar/ klab malam, pesta atau kumpul-kumpul antar komunitas gay sendiri kini drag-queen semakin sering ditanggap sebagai pengisi hiburan dalam perhelatan perkawinan, arisan dan beragam acara publik di beberapa kota besar di Indonesia. Bagi publiknya, pertunjukan drag-queen dalam negeri lebih dikenal dengan istilah playback. Istilah playback merujuk pada aktivitas lip-synching: yakni seseorang yang “mempergelarkan” sebuah rekaman lagu dengan mencocokan gerak mulut dengan lirik lagu yang diputar, lengkap dengan riasan wajah (make-up), kostum, gerakan tari dan pantomim yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Melalui pemahaman tentang adanya perencanaan dan latihan ini kita bisa mengenali aspek teatrikal dari pementasan playback.
Kebanyakan penonton playback biasanya sudah paham bahwa sosok yang ditampilkan di pentas adalah ‘laki-laki’ seberapapun ‘nyata’ keperempuanan yang mau dihadirkan. Namun demikian, seorang drag-queen bisa saja tidak membedakan antara penampilannya ketika dia di atas panggung dengan di luar panggung atau dia membedakannya tegas-tegas. Seorang drag-queen juga bisa punya kesadaran diri yang kuat tentang alasannya tampil atau bisa juga ia tidak punya niatan lebih jauh dari menghibur sambil bersenang-senang. Umumnya drag-queen di Indonesia dilakukan oleh gay dan/atau waria, mereka yang seringkali disalahpahami sebagai lelaki yang tidak ‘utuh’ atau ‘tulen’.
Sementara itu praktek peniruan perempuan di seni pertunjukan dapat dijumpai bukti-buktinya sebagai ‘tradisi’ yang sudah berkembang lama di Nusantara. Sebagai contoh Dede Oetomo (2001) menyebutkan tentang pengadopsian gender dalam pertunjukan tari gandrung di Banyuwangi dan Bali, ludruk Jawa Timur, sandhur di Madura dan tari masri di Makassar. Fenomena tersebut telah mengisi ruang pembahasannya tersendiri dalam kategori-kategori keilmuan seperti tranvestism (Bouvier, 2002) atau cross-gender (Thowok, 2005). Sedangkan tulisan ini mau menelisiki ragam hubungan yang terbentuk antara berbagai pemaknaan kultural tentang drag-queen kontemporer dan persinggungannya dengan praktek tranvesti di pertunjukan tradisi. Selain itu saya juga mencoba merunut apa-apa saja yang tergelar melalui tubuh drag-queen ketika diperiksa lewat subyektivitas pelaku dan penontonnya dan bagaimana peristiwa pergelaran terbentuk dari hubungan antara beragam konstruk yang terbangun di sekitar jenis kelamin, gender dan seksualitas.
*****
Dalam playback, para drag-queen menggarap tata gerak, kostum, dandanan dan tampilan yang beraneka. Wujud yang dipertontonkan oleh drag-queen bisa terlihat mulai dari yang apa adanya sampai dengan yang berlebihan, tampilannya pun bisa tampak sekenanya sampai dengan yang dramatik. Pementasan ini biasanya menampilkan sosok perempuan yang bertautan dengan figur berbagai artis penyanyi kenamaan, mulai dari Inul Daratista, Rihanna, Britney Spears, Audrey Hepburn dan lainnya. Bahkan bukan tidak mungkin figur ketiganya diundang kembali bersamaan di akhir pementasan untuk mem-playback bersama-sama lagu We Are Family, yang dinyanyikan oleh Sister Sledge.
Tidak hanya mengesahkan lanturan yang anakronistik, tubuh-tubuh drag-queen juga memungkinkan bentuk penyelewengan, ketimbang murni peniruan. Tak jarang pelaku pertunjukan ini sudah tidak lagi merujuk dan mempergelarkan sosok yang ditiru seperti adanya dan bergerak melanggar ‘kewajaran tampilan perempuan’. Dengan melakukan gerakan-gerakan slapstick dan pose-pose yang berkesan humor, dandanan yang glamor (bahkan cenderung menor), pengenaan kostum-kostum ajaib yang terbuat dari kolase sandal jepit, ratusan permen uang diuntai atau sehelai handuk di kepala bak Marilyn Monroe selepas mandi, drag-queen menginterpretasikan kembali makna dan sifat-sifat yang dilekatkan pada perempuan dengan cara yang kreatif dan segar demi capaian pergelaran.
Tampilan hiper-feminin di atas acapkali memancing kritikan bahwa drag show adalah perpanjangan dari logika kemaskulinan yang meremehkan perempuan atau bahkan dianggap mencerminkan misogynisme. Di sisi lain, representasi tersebut juga menguatkan kecurigaan bahwa semua pelaku drag show kebanci-bancian; sebuah stigma yang juga melekat pada gay dan waria. Dalam pandangan kemaskulinan yang normatif, perempuan dan sifat-sifat yang melekat padanya dipandang inferior dan asumsi ini diberlangsungkan dalam praktek-praktek yang mengeraskan subordinasi perempuan. Bekerja melalui alasan yang sama maka lelaki dituntut untuk selalu mempertahankan sikap, capaian dan tampilannya yang ‘tulen’ -dengan tidak berlaku feminin, kalau tidak mau dianggap lebih rendah dari lelaki lain.
Menempuh dikotomi yang menolak sekaligus menyambut tampilan hiper-feminin dalam playback, pertunjukan yang menjauh dari maskulinitas normatif ini oleh ranah pengamatan yang sudah cukup mapan di Barat dijelaskan sebagai sensibilitas camp (Sontag, 1966). Camp ditengarai sebagai gaya komikal sekaligus kritis yang diungkapkan oleh lelaki gay Eropa dan Amerika dan (sub)kultur drag-queen. Secara khusus sensibilitas yang dieksplorasi dalam pertunjukan ini terdiri dari aspek-aspek “ketidaksebangunan, teater dan humor” sebagai jalan untuk mendekonstruksikan jender (Newton dalam Halberstam, 2005).
Dalam kerangka yang lebih luas, fenomena peralihan peran gender dalam penggunaan pakaian orang mengenal istilah cross-dressing. Kata ini dipakai untuk menjelaskan laki-laki yang gemar(?) berpakaian seperti perempuan atau sebaliknya. Fenomena cross-dressing itu sendiri sebenarnya sudah mengakar semenjak pakaian mulai dibedakan penggunaannya berdasarkan gender. Kita bisa melongok kembali kisah-kisah tentang perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki dalam sejarah Joan dari Arc atau legenda Sam Pek Eng Tay, misalnya. Dalam kasus ini, cross-dressing menjadi bagian dari siasat perempuan untuk mengakses ruang-ruang yang tadinya dikhususkan untuk laki-laki. Dalam konteks pertunjukan, persoalan kehadiran perempuan di ruang publik juga disiasati secara praktis melalui pelembagaan cross-dressing di panggung teater. Hal ini terjadi di gedung teater masa Elizabethan di Inggris awal abad 16 dimana seluruh peran perempuan dibawakan laki-laki. Contoh lain juga bisa ditemukan pada masa Perang Dunia I dan II dimana perempuan tidak boleh ikut kemiliteran. Oleh sebab itu, peniru perempuan menjadi figur penting dalam menghibur dan menaikkan moral tentara selama perang tersebut berlangsung. Sementara hanya sedikit yang bisa kita ketahui mengenai kaitan antara seksualitas dari para peniru perempuan di masa itu, istilah drag-queen yang kerap dikaitkan dengan budaya homoseksual dapat dijumpai bentuk awalnya dalam dunia teater Inggris dan pertunjukan vaudeville di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19. Pada masa itu dikatakan bahwa kata drag digunakan untuk menamakan gaun perempuan dikenakan laki-laki dalam pertunjukannya. Baru memasuki paruh kedua di abad ke 20 pertunjukan drag-queen bersenyawa dengan (sub)kultur gay di Barat, ditandai oleh meriahnya kegiatan ini di bar dan klab malam khusus gay dan meluas sampai sekarang lewat media massa, film, dan televisi.
Dengan sensibilitas camp menjadi bingkai untuk memahami pementasan drag-queen, kita dapat membaca tantangan terhadap kultur dominan lewat bermain-main dengan tubuh dan gender. Kefemininan yang disajikan drag-queen biasanya berwujud salinan ulang dari tampilan yang sudah ada sebelumnya. Alih-alih menyampaikan kembali bentuk ini ‘sebagaimana adanya’ capaian pergelaran justru direproduksi lewat ironi, sarkasme dan pemutarbalikkan sebagai bentuk alternatif keperempuanan yang selama ini diyakini. Satu masalah lain mengemuka ketika konsep acara drag queen yang dimapankan sebagai subkultur gay di Eropa dan Amerika diangkat sebagai satu-satunya rujukan yang memahami playback sebagai bentuk pengadopsiannya secara ‘lokal’. Mustinya informasi dan mobilitas global yang semakin gampang diakses juga punya peranan dalam mengimpor pertunjukan drag-queen versi kultur gay-Barat dan mereproduksinya ke bentuk playback yang kini kian menjadi tontonan publik setempat. Untuk tidak berlarut-larut dengan dikotomi lokal-global, saya mau mengangkat satu contoh kasus yang dapat menandai bagaimana praktek pergelaran playback tidak melulu berada dalam bentuk hubungan satu-satu dengan pertunjukan drag-queen yang telah terkodifikasi seperti yang diprasangkakan dengan istilah ‘adopsi lokal’.
Pada suatu malam, sekelompok gay di kota Yogyakarta berkumpul dalam sebuah acara khusus yang disiapkan dan diperuntukan kalangan mereka sendiri. Seperti biasanya , pertunjukan playback menjadi salah satu inti acara yang paling ditunggu malam itu. Panggung digelapkan pertanda dimulainya acara. Sebagai pembuka rangkaian acara, naik ke atas pentas seorang drag-queen (king?) yang mem- playback penampilan grup pop asal Inggris, Pet Shop Boys! Sekali lagi perlu ditegaskan disini bahwa dalam playback, drag-queen tidak sedang menyanyi melainkan mempergelarkan gaya dan gerakan ketika menyanyi. Di atas pentas, drag-queen yang berinisial AB tersebut mem-playback tampilan laki-laki feminin dengan kostum yang terbuat dari tempelan daun-daun kering sambil menggerakan mulutnya mengikuti lirik lagu Barat yang iramanya mendayu-dayu. AB tidak sedang memerankan dirinya sendiri sebagaimana Pet Shop Boys yang juga dianggap sebagai ikon musisi gay di Inggris berkulit putih itu juga tidak sedang membawakan dirinya sendiri ketika tampil menyanyi di televisi.
Peristiwa di panggung kali itu tidak saja menjungkirbalikkan dikotomi normatif antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga memuntir definisi pertunjukan drag-queen show sebagai tampilan laki-laki yang bermain-main dengan keperempuanan. Dalam konteks ‘pertunjukan drag queen show yang diadopsi secara lokal’ di Yogyakarta, AB bahkan mereproduksi konsep drag-show yang mungkin didapatkannya dari interaksinya dengan informasi global ke dalam bentuk yang luar biasa. Alih-alih menuruti definisi tegas pertunjukan drag-queen sebagai laki-laki yang memparodikan keperempuanan, pementasan AB kali itu menampilkan sosok laki-laki pribumi yang kemayu dan merujuk pada tampilan feminin grup musik laki-laki kulit putih. Singkatnya, AB tidak hanya mem-playback Pet Shop Boys tapi juga kodifikasi atas pementasan drag-queen
Beranjak dari kerumitan tersebut, persoalan yang terbangun di sekitar playback tidak lantas menjadi semakin sederhana. Sekilas telah disebutkan di atas bahwa peniruan perempuan juga sama sekali bukan hal baru di tradisi pertunjukan Nusantara. Lantas bagaimana bentuk persinggungannya dengan ramai fenomena playback di negeri sendiri? Tautan dan pautan apa yang terjadi antara praktik tranvesti (atau dalam istilah mutakhir disebut cross-gender-lihat Lèbur 02) dalam seni pertunjukan tradisi dengan playback mutakhir yang pelakunya didominasi oleh gay dan waria? Untuk itu saya masih perlu mengulas sedikit lagi tentang sejarah peniruan perempuan dalam seni pertunjukan tradisional.
****
Bentuk tampilan lintas-gender di Nusantara dapat ditelusuri kehadirannya sejak abad 14. Fakta ini terekam dalam catatan-catatan perjalanan dan sejarah lokal di banyak tempat. Pada tahun 1830an, tarian ‘Bantji Batavia’ misalnya sudah menjadi wajah budaya populer di Betawi sehari-hari. Tarian ini dibawakan oleh laki-laki muda sebagai perempuan, kadang dengan menganakan kostum perempuan Barat dan gelang-gelang kaki. (Milestone dalam Boellstorff, 2004). Amatan-amatan tentang praktik lintas-gender dalam ritual maupun seni tradisi kerap dijadikan petunjuk[1] tentang ada tidaknya benih-benih transgenderisme dan homoseksualitas di Nusantara. Melalui amatan-amatan tersebut dapat dibaca upaya-upaya yang berupaya menghapus stigma, sekaligus mengakrabkan kembali, awam terhadap prilaku seksualitas yang liyan seperti gay, lesbi dan waria Indonesia masa kini.
Fenomena transgender di kalangan bissu sebagai pemegang otoritas resmi ritual tradisional di Sulawesi bagian Selatan dan hubungan antara warok-gemblakan dalam reyog Ponorogo adalah dua dari banyak contoh yang paling sering disebut(-sebut) dalam kerangka amatan ini. Namun sebelum dengan gampang mengandaikan bahwa praktik tranvesti di seni tradisi adalah juga bentuk asali dan asli yang diturunkan ke bentuk transgender dan homoseksualitas (atau seksualitas manapun) kontemporer ada hal-hal yang perlu dicermati. Antropolog Tom Boelstroff (2004) mengingatkan bahwa dalam kegiatan-kegiatan tradisi, isu gender dan seksualitas adalah perkara nomor dua dibawah muatannya sebagai aktivitas ritualistik ataupun artistik. Dengan kata lain, struktur disiplin dan latihan yang diprasyaratkan pada seniman tranvesti lebih dekat pada fenomena profesi ketimbang subyektivitas jender atau seksual. Orang harus menempuh latihan dan ketekunan tertentu untuk menjadi warok, bissu atau seniman tranvesti, tapi belum tentu halnya dengan gay atau waria; -meskipun tidak tertutup kemungkinan waria yang menjadi bissu setelah menempuh disiplin latihan yang dipersyaratkan..
Pautan antara playback dan tampilan lintas-gender dalam tradisi pertunjukan saya kira ada pada soal ketidaksebangunan antara jenis kelamin, gender dan seksualitas pada masing-masing ranah dan bentuk capaian dari hubungan ketiganya. Dalam seni tradisi, Didik Nini Thowok (lihat Gong edisi 75. Th.2005) menjelaskan bahwa lelaki yang suka memerankan tarian perempuan; banyak yang laki-laki tulen (cetak miring dari saya): beristri dan punya anak[2]. Mengutipnya secara lengkap, penari kawakan yang biasa membawakan tarian lintas gender ini melanjutkan uraiannya:
“Menjadi seniman tranvesti dituntut mempelajari peran, bahasa tubuh dan mimik keperempuanan. Ini alasan mengapa tidak menyerahkan langsung saja peran itu kepada perempuan sebenarnya, karena perempuan sebenarnya itu biasanya akan memainkan tokoh perempuan sebagai mana adanya, sementara seorang laki-laki yang melintasi batas gender ini, memainkanya dngan suatu jarak dan kelekatan.” (dikutip dari majalah Gong, edisi 75 Th.2005).
Bagi seniman tranvesti capaian pergelaran yang dituju adalah tidak dengan menampilkan perempuan sebagaimana adanya, karena hal itu bisa dilakukan perempuan sendiri. Keluwesan menari, kemerduan menirukan suara perempuan/laki-laki,sorak-sorai penonton ketika melihat adegan di atas pentas yang membolak-balik konstruk normatif perempuan dan laki-laki, sampai dengan penghayatan yang bersifat spiritual-kebatinan adalah beberapa bentuk pergelaran seni tranvesti yang dianggap berhasil.
Dari uraian di atas dapat dicermati bahwa ketegangannya ada pada saat di mana tampilan feminin (konstruk jender) laki-laki (jenis kelamin) tidak diteruskan ke luar panggung apalagi sampai seniman itu tidak beristri dan punya anak (homoseksualitas). Soal kedua, ada pada pernyataan tentang bahwa perempuan (jenis kelamin) yang menampilkan perempuan sebagaimana adanya (konstruk gender) bukanlah capaian artistik dari seni tranvesti. Maka keberhasilan seniman tranvesti dapat diukur dalam kemampuannya membatasi penghayatan keperempuanan sepanjang itu dilakukan dalam konteks pergelaran.
Seharus pernyataan terakhir di atas dapat menegaskan duduk permasalahan tranvestisme dalam kesenian tradisi sebagai ruang dimana permainan gender dimungkinkan ada. Akan tetapi realitas adanya ruang inilah yang justru menjadi pokok persoalan yang dirisihkan, sehingga mau tak mau praktek tranvesti dalam pertunjukan tradisi harus ikut terseret masuk ke dalam pusaran politisasi dan diskriminasi heteroseksisme. Hal ini tercermin, antara lain, pada masa awal Orde Baru, yang mana label sebagai simpatisan komunis juga dikenakan kepada bissu dan warok. Subyektivitas yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual senantiasa harus dijauhkan dari tampilan publik. ‘Tradisi’ pun perlu dibersihkan dengan menggantikan peran gemblak dalam reyog Ponorogo masa kini dengan perempuan muda, seperti juga yang terjadi dalam lingkup pertunjukan ludruk, yang saat ini lebih sering menggunakan pemain perempuan ketimbang laki-laki atau waria.
Sebaliknya yang berlangsung pada pergelaran playback, drag queen justru menghuni kerisihan yang dipersoalkan oleh norma heteroseksual ketika kefemininan laki-laki tidak hanya berlangsung di panggung. Resiko stigma dan diskriminasi yang mau dihindari oleh para kebanyakan pelaku tranvesti dalam seni tradisi justru selalu dan sedang dihadapi oleh drag-queen yang (terlanjur?) dilekatkan dengan perilaku gay dan waria dalam hidup sehari-harinya, sebagai banci (dalam konotasinya yang menghina).
Selanjutnya, hal lain yang membedakan antara playback dan seni pertunjukan tranvesti ada pada hasil olahan pertunjukan yang dicapai. Capaian keperempuanan yang diangkat dalam playback tidak perlu menempuh latihan atau disiplin ritual tertentu. Kefeminan yang mau dipergelarkan drag-queen tidak melibatkan penempuhan jarak yang diandaikan hadir memisahkan secara tegas antara apa yang disebut laki-laki dan perempuan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam ranah drag-queen sendiri hadir beraneka dinamika siasat dan kreatifitas seturut dengan ragam pilihan pelakunya dalam mencapai tujuan pergelaran. Namun demikian, persoalan gender (baik maskulin ataupun feminin) yang dibayangkan hadir sebagai wujud puncak pergelaran tersebut tidak sedang berada di luar diri pelakunya sebagai sesuatu yang diperankan secara manasuka. Bagi drag-queen, gender itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat pergelaran (Butler, 1990). Berikut uraiannya.
*****
Dalam praktiknya, pementasan playback dapat dibedakan melalui berdasarkan subyektivitas pelakunya, gay dan waria. Pembedaan ini menjadi penting karena masing-masing posisi subyek menempati intensi, metode dan capaian pergelaran yang berlainan. Di kalangan sendiri, gay yang menjadi drag-queen dengan mengenakan pakaian perempuan dan rias wajah disebut dengan gay déndong (sebuah varian bahasa gay dari asal kata ‘dandan’). Meskipun waria juga menggunakan istilah déndong ketika berdandan tapi konteks gay déndong biasanya melulu merujuk pada situasi playback. Gay tidak déndong di situasi biasa, atau di ruang-ruang publik yang menjadi tempatnya bersosialisasi. Mereka juga tidak déndong untuk menarik perhatian partner seks. Bagi lelaki gay, déndong tidak terkait dengan hasrat seksual karena mereka memahami dirinya sebagai pecinta sesama jenis (Boellstorff, 2004). Ketika saya menanyakan kepada AB, seorang lelaki gay (29 thn), tentang alasannya melakukan playback, dia menjelaskan bahwa dengan menjadi drag-queen dia bisa bebas mengungkapkan sisi femininnya, sesuatu yang tidak bisa dia lakukan setiap saat. Pada kasus lelaki gay seperti AB drag-queen menjadi saluran untuk menampakan kefemininan yang dimaknai hadir sebagai sisi lain dari kemaskulinan yang dia hidupi sehari-hari.
Hal ini berbeda dengan posisi subyek waria, yang mana pelekatan kefemininan sudah ditubuhkan dan diketahui publik luas. Pada banyak kesempatan, ketika waria diminta menjelaskan keadaannya, dia akan mengatakan bahwa dirinya adalah jiwa perempuan yang terjebak di tubuh laki-laki. Untuk semakin menegaskan jiwanya yang perempuan, seorang drag-queen waria tidak hanya meneruskan tampil dengan dandanan di luar panggung, tapi juga mengenakan pakaian dan gaya rambut perempuan dalam situasi kesehariannya. Lebih lanjut lagi waria kerap memodifikasi tubuhnya dengan berbagai cara: mulai dengan yang bersifat tidak permanen seperti dengan minum jamu atau menggunakan pengganjal dada sampai dengan yang permane seperti konsumsi hormon dan injeksi silikon. Melalui upaya menampilkan jiwa perempuan ke permukaan tubuh lelaki, sepakat dengan Boellstorff (2004), seorang waria tidak sedang berusaha menjadi perempuan, melainkan tetap menjadi waria (di luar fakta bahwa dia bisa tampil begitu mirip dengan perempuan atau bahkan pada sedikit kasus yang sudah yang menempuh operasi ganti kelamin sekalipun). Tubuh drag-queen yang dihadirkan oleh waria di atas pentas menjadi sarana perpanjangan dari citra keperempuanan yang sudah biasa diperlihatkannya dalam gerak-gerik dan mimik sehari-hari.
Dalam konteks pertunjukan, pemaknaan terhadap tubuh drag-queen sebagai sarana pengungkapan dan bentuk perpanjangan yang sehari-hari bisa diperiksa sebagai patokan aspek teatrikalnya. Kesimpulan bahwa yang pertama lebih bersifat teatrikal daripada yang kedua memang sulit untuk dihindari. Di sisi lain, anggapan bahwa setiap kali tampilan feminin pada drag-queen dibingkai sebagai pertunjukan maka muncul batasan tegas antara mana yang berpura-pura dan mana yang kehidupan nyata, -sebuah batasan yang sebenarnya sudah diupayakan untuk hilang oleh penggiat seni pertunjukan (lihat Bain dalam Lèbur 01). Tapi dari sudut pandang yang bersandar pada dikotomi ketat antara jenis kelamin dan gender, orang bakal berkata: “Oh yang di pentas itu sebenarnya laki-laki”, yang sedang menyamarkan realitas jendernya lewat tampilan, bahwa kemaskulinannya tersembunyi apik di balik intensitas cahaya, ketebalan make-up dan gemerlapnya kostum. Kemaskulinan yang ‘asli’ kerap dibayangkan sedang bersembunyi dalam tubuh drag-queen dan siap disibak begitu playback selesai. Tapi orang lupa bahwa begitu lampu panggung dimatikan, riasan dihapus dan kostum dilepas, kadang yang muncul adalah diri waria yang asli.
Dinamika posisi subyek pelaku yang bisa dikatakan nyaris seluruhnya berlangsung di belakang panggung ini tak pelak menjadi tidak kentara begitu dihadapkan ke mata-mata penonton yang kurang terlatih dalam membedakan. Dalam sebuah acara perkawinan di kota Gombong misalnya, tiga orang drag-queen sekaligus ditanggap sebagai pengisi hiburan oleh salah satu kawan mereka yang juga anggota keluarga dari pihak pengantin. Ketika itu VG (22 tahun), salah seorang drag-queen waria berusia asal Yogya tampil di pentas mem-playback lagu Celine Dion. Menikmati suguhan pertunjukan tersebut salah seorang penonton berujar: “Suara mbaknya apik lho, tur ayu! (terjemah: Suara mbak itu bagus, dia juga cantik). Lontaran kalimat ini mungkin bisa dikaitkan dengan situasi penonton di kota kecil yang tidak memahami konsep pertunjukan playback atau dia tidak mengenali siapa Celine Dion atau lagu-lagu yang dibawakanya. Saya pikir bukan hanya itu persoalannya, karena bisa jadi komentar tersebut justru sedang membidik tepat pada capaian pergelaran dari playback. Peristiwa pergelaran playback tercapai ketika tidak lagi menjadi soal siapa yang menggerakan bibir dan siapa yang benar-benar menyanyi, mana yang asli atau palsu. Drag-queen di atas pentas berhasil tampil sebagai sosok tanpa cela (Schacht, 2004) sekaligus tanpa celah yang memisahkan antara gender yang dihadirkan dengan jenis kelamin yang membawakannya.
Hubungan tanpa cela(h) antara keperempuanan yang dipergelarkan dengan kewariaan yang menampilkannya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa dalam menggelar aksinya di pentas, drag-queen tidak hanya berupaya menampilkan kembali Celine Dion, Inul Daratista dan berbagai figur perempuan kenamaan lainnya ke dalam bentuk aslinya atau bahkan palsunya yang sempurna, tapi menginterpretasikannya ke dalam bentuk perempuan yang mungkin dicapai tubuh si penggelar Seorang gay berinisial UK, 34 tahun, yang sudah berpengalaman menjadi drag-queen selama 6 tahun belakangan, misalnya, menjelaskan bahwa karena perawakannya yang besar, agak sulit baginya untuk selalu terikat pada tampilan ‘asli’ artis yang ditubuhkannya. Jika dia terus menerus memaksakan diri tampil dengan gaya dan wujud asli artis yang dihadirkannya lewat playback, niscaya pertunjukannya akan gagal. Apalagi karena kebanyakan penyanyi yang tenar, selain berwajah cantik dan bersuara merdu, juga bertubuh sintal. Yang UK lakukan untuk menyiasati resiko kegagalan ini adalah menginterpretasikan lagu-lagu yang dianggapnya cukup nyaman untuk tubuhnya bergerak, tanpa terlalu memusingkan wujud dan gaya sesungguhnya dari si penyanyi yang lagunya diperdengarkan. Dengan menampilkan kefemininan yang dimungkinkan oleh tubuhnya, gerakan tubuh dan wajah UK tampil tanpa cela ketika didukung oleh jenis musik yang melodik, tempo cenderung perlahan dan suara elegan dari penyanyi yang suaranya diputarkan. Pergelaran playback dinilai berhasil ketika jarak antara gender yang ‘asli’ dan yang ‘palsu’ sudah dituntaskan dan dilampaui.
Melalui pemandangan tubuh drag-queen dapat ditarik ke pemandangan bagaimana jenis kelamin apapun dapat dipergelarkan sebagai jender apapun. Sepakat dengan Judith Butler (1990), tubuh drag-queen menjadi medan sengketa yang dapat menunjukkan sifat pergelaran dari jender. Karena sifat itu pula, proses pembentukan jender menuntut pembiasaan dan perlu terus menerus ditampilkan untuk mencapai tampilannya yang ‘tulen’. Namun demikian pernyataan ini tidak untuk disalahartikan dengan kesimpulan bahwa kefemininan atau kemaskulinan bisa dikenakan dan dilepaskan dengan semaunya seperti halnya pakaian. Contoh kasus yang dialami drag-queen semestinya dapat menunjukan bagaimana tubuh senantiasa mendapat ancaman stigma dari norma yang berlaku begitu tubuh ditampilkan dengan gender yang dianggap tidak sebangun dengan jenis kelamin. Satu hal yang saya pikir tidak terlalu prematur untuk diajukan setelah gender dimaknai sebagai sesuatu yang punya sifat pergelaran adalah selalu tentang kemungkinan bentuk apa lagi yang dapat diolah dari pengertian tersebut.
*versi awal tulisan ini pernah dimuat di jurnal LeBur:Performance.Theater.Arts Online, 2008, Yayasan Teater Garasi, Yogyakarta
Bacaan
Bain, Lauren. 2004. “Pergelaran Pasca Orde-Baru”, Lèbur edisi 01, Yayasan Teater Garasi.
Boellstorff, Tom.”Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Tranvestites”, Culture Anthropology vol.19. American Anthropological Assosiation.
Bouvier, Helene. 2002. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura
Butler, Judith. 1990. Gender Trouble: Feminism and Subversion of Identity. New York: Routeldge.
Halberstam, Judith. 2005. In Queer Time and Place: Transgender Bodie, Subcultural Lives. New York University Press.
Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara pada yang Bisu. Galang Press. Yogyakarta.
Schacht, Steven P., & Lisa U. 2004. “The Absolutely Fabulous but Flawlessly Customary World of Drag Queens and Female Impersonators.” Journal of Homosexuality Vol. 46. Haworth Press
Sontag, Susan. 1996. Against Interpretation. Farrar. New York.
Thowok, Didik N.2004. “Masuk, di Dalam dan di Luar Peran, Wawancara dengan Didik Ninik Thowok” Lèbur edisi 02, Yayasan Teater Garasi.
Thowok, Didik N. 2005. Cross-Gender. Sava Media. Yogyakarta