Menelusuri Jejak Prancis dalam Pemikiran Historiografi Indonesiasentris

Diskusi “Catatan Sejarah Indonesia: Sebuah Perspektif Perancis”, 11 Maret 2009, di Auditorium Lembaga Indonesia Prancis (LIP)

 

Oleh BAMBANG PURWANTO 

 

1. Hasil pembacaan atas buku atau monografi tentang Indonesia dan Asia Tenggara hasil penelitian para ilmuan Prancis dan penelitian bersama dengan ilmuan Indonesia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ditemukan sesuatu yang berbeda baik secara substantif maupun metodologis dibandingkan dengan kajian-kajian berbahasa Inggris dan Belanda yang menjadi acuan utama saya selama ini. Beberapa kekosongan yang ada seolah-olah terisi oleh kehadiran buku dan monografi itu, padahal beberapa diantaranya sebenarnya telah diterbitkan dalam bahasa Prancis beberapa dekade yang lalu. Keadaan itu mengingatkan kembali artikel-artikel yang ada di Archipel, jurnal ilmu sosial dan budaya yang diterbitkan oleh CNRS/INALCO dan beberapa buku karangan ilmuan Prancis, seperti tulisan Denys Lombard tentang Aceh dan karya besarnya Nusa Jawa, Claudine Salmon tentang kebudayaan dan sastra Melayu Tionghoa, Marcel Boneff tentang kebudayaan Jawa, dan Claude Guillot tentang Sadrach dan Kristianisasi Jawa.

2. Akan tetapi optimisme di atas dibayangi oleh kenyataan tentang terbatasnya hubungan antara ilmuan Indonesia dan Prancis dalam dunia ilmiah kesejarahan, seperti yang tercermin dalam pengalaman Jurusan Sejarah UGM. Selama 15 tahun terakhir ini, Jurusan Sejarah UGM tidak pernah melakukan kerjasama akademik dan penelitian kesejarahan baik dengan ilmuan maupun lembaga keilmuan Prancis, tidak ada satu pun baik sejarawan maupun ilmuan sosial-kemanusiaan Prancis yang pernah berceramah atau berdiskusi di Jurusan Sejarah UGM, tidak satu pun sejarawan UGM kecuali mereka yang kebetulan sedang menjadi mahasiswa di Eropa pernah menghadiri seminar kesejarahan di Prancis, dan tidak ada seorang pun mahasiswa dari Prancis yang pernah hadir di dalam kelas-kelas di jurusan Sejarah UGM.

3. Kasus yang terjadi di UGM itu memang tidak bisa begitu saja dianggap merepresentasi keadaan yang sebenarnya dari hubungan ilmiah kesejarahan antara Indonesia dan Prancis, namun dapat dipastikan bahwa hanya sedikit sekali sejarawan muda Indonesia yang dihasilkan oleh pusat-pusat pengkajian sosial-kemanusiaan di Prancis. Kalau pun ada kerjasama ilmiah kesejarahan antara Indonesia dan Prancis dalam dua dekade terakhir ini, hal itu dapat dipastikan bahwa kerjasama itu sangat terbatas.

4. Ada beberapa sebab yang dapat digunakan untuk menjelaskan keadaan di atas. Satu, para anggota dalam lingkaran inti Archipel yang menjadi tulang punggung kerjasama ilmiah antara Indonesia dan Prancis dalam ilmu sosial-kemanusiaan lebih banyak berada dalam lingkup kajian arkeologi, bahasa dan sastra-filologi, bukan sejarah seperti yang dikenal di Indonesia. Dua, penelitian lintas disiplin yang melibatkan sejarah dengan ilmu sosial-kemanusian yang lain sangat-sangat terbatas. Tiga, tidak banyak ditemukan nama baru atau keahlian baru pada ilmuan Prancis yang mampu mempertemukan dunia ilmiah kesejarahan Indonesia dan Prancis dalam beberapa dekade terakhir ini, seperti yang tercermin pada perbandingan nama-nama redaktur pada jurnal Archipel tahun 1980-an dengan dekade pertama abad ke-21. Empat, keterbatasan penguasaan bahasa Prancis pada sejarawan Indonesia. Lima, sebagian besar sejarawan Indonesia yang lulus dari Prancis tidak mampu menghadirkan ciri-ciri tradisi keilmuan sejarah Prancis dalam karya-karya sejarah yang mereka hasilkan kemudian, terutam yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Enam, kajian tentang sejarah Islam yang secara umum menjadi jembatan bagi hubungan yang luas antara sejarawan Prancis dengan sejarawan di negara-negara lainnya, terutama di Afrika dan Timur Tengah, tidak berkembang secara luas di Indonesia.

5. Jurnal Archipel adalah bagian yang integral dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales atau EHESS, Seksi VI yang sangat berkaitan erat dengan perkembangan tradisi ilmu sejarah Prancis di bawah bendera kelompok Annales. Akan tetapi, ada kenyataan bahwa hampir seluruh tulisan tentang kelompok Annales sama sekali tidak pernah menyinggung nama Danys Lombard dan kelompok Archipel, biarpun secara jelas disebutkan bahwa alamat Archipel sama seperti Annales yang berada di EHESS. Apakah ini salah satu contoh dari adanya “hegemoni Barat” dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan? Apakah hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa biarpun tradisi keilmuan Annales berkaitan dengan usaha “meruntuhkan” perspektif konvensional Barat, para penulis sejarah ilmu pengetahuan tetap hanya melihat kelompok Annales dari metodologi dan karya-karya yang berhubungan dengan Barat dan mengesampingkan metodologi dan karya kelompok Archipel yang dikategorikan Timur?

6. Salah satu ciri penting dari tradisi keilmuan oleh EHESS adalah mengintegrasikan sejarah dan ilmu-ilmu sosial dalam sebuah ilmu yang komprehensif disebut “science of man” atau “science de l’homme”. Tradisi metodologi Annales “berbagi keyakinan dengan sejarawan lain yang berorientasi pada ilmu-ilmu sosial untuk kemungkinan dilakukannya pendekatan ilmiah dalam sejarah”. Penekanan pada sejarah analitis yang berorientasi pada masalah menjadikan kelompok Annales berbeda dengan kelompok tradisional yang menekankan pada “narrative of event”. Historiografi Annales menjadikan seluruh aktivitas manusia sebagai sejarah, berbeda dengan tradisi sebelumnya yang hanya menekankan pada sejarah politik. Dalam proses kerja metodologisnya, kelompok Annales sangat menekankan pada kerjasama dengan ilmu-ilmu yang lain.

7. Apakah ada jejak Prancis dalam perkembangan pemikiran historiografi Indonesia, khususnya penulisan sejarah yang berdasarkan cara pandang keindonesiaan, terutama metodologi penulisan sejarah Indonesiasentris yang dikembangkan oleh Sartono Kartodirdjo? Menurut Sartono Kartodirdjo “falsafah sejarah nasional sebagai landasan sejarah nasional, ternyata tidak relevant bagi praktek penyelidikan sejarah”, sehingga diperlukan “teori serta metodologi dari sejarah sebagai disiplin” yang berbentuk “approach multidimensional dalam sejarah” untuk mengungkapkan “tidak hanya sebagai kesatuan yang terdiri dari faktor-faktor, tetapi juga bagaimana jalinan faktor-faktor itu dalam interaksinya dan mana di antaranya yang dominan”. Untuk itu dikembangkan “sejarah yang analitis”, suatu kerja penelitian sejarah yang “hendak menguraikan kausalitas, faktor-faktor kondisional dan determinan dari peristiwa-peristiwa sejarah” dengan menempatkan konsep, hipotesa, dan teori secara ekplisit untuk “penyeleksian dan penginterpretasian” agar “lebih terbuka untuk penilaian secara obyektif”.

8. Lebih lanjut dikatakan bahawa metodologi historiografi Indonesiasentris didasarkan pada “approach struktural“ melalui reaproachment antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sehingga “sejarah ditulis dengan pendekatan ilmu sosial dan berbentuk sejarah analitis atau sejarah struktural karena “ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat, sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis”. “Fenomena historis sebagai kompleksitas dapat diinterpretasikan menurut ekonomi, sosiologi, antropologi, politikologi”, yang menempatkan secara sejajar arti penting dimensi sinkronik yang menekannya pada struktur dengan dimensi prosesual diakronik dalam rekonstruksi terhadap peristiwa masa lalu.

9. Sartono Kartodirdjo juga melakukan pembatasan atas dominasi sejarah politik yang berlaku dalam tradisi historiografi konvensional dan berpaling pada penelitian sejarah yang mencakup “pelbagai kepentingan serta aktivitas manusia”. Jika sejarah konvensional lebih terfokus pada “peristiwa-peristiwa politik dalam kerangka tokoh-tokoh terkenal, lembaga-lembaga politik dan perang”, maka historiografi Indonesiasentris menganggap “perlu menyelidiki kekuatan-kekuatan yang bergerak dalam masyarakat dan mengungkapkan rangkaian kondisi-kondisi yang menentukan situasi atau peristiwa historis”. Wujudnya, petani dan desa beserta masyarakatnya hadir sebagai tokoh dalam sejarah Indonesia.

10. Dari kenyataan di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa salah satu fondasi penting dari historiografi Indonesiasentris, khususnya yang dikembangkan Sartono Kartodirdjo adalah tradisi historiografi Prancis, khususnya metodologi kelompok Annales. Ironisnya seperti telah disebutkan di atas, kerjasama dan hubungan intelektual dalam dunia kesejarahan antara Indonesia dan Prancis sangat terbatas ketika historiografi Indonesiasentris mencapai puncak perkembangannya. Salah satu akibatnya, beberapa jenis sejarah dan model pemikiran yang berkembang dalam penulisan sejarah Prancis tidak ditemukan dalam penulisan sejarah Indonesia yang dilakukan oleh sejarawan Indonesia.

11. Seperti tersurat dan tersirat pada pengantar Sartono Kartodirdjo untuk buku Nusa Jawa Silang Budaya, Denys Lombard dan kelompok Archipel dianggap merepresentasi pemikiran historiografi Annales. Akan tetapi tradisi historiografi Annales hanya dipahami sebagai pemikiran yang mengikuti “kaedah sejarah social scientific”, sama seperti prinsip yang dijadikan dasar bagi historiografi Indonesiasentris dalam kontek sejarah analitis struktural. Padahal ada satu hal yang dilupakan bahwa selain melihat arti penting sejarah social scientific, kelompok Annales sangat menyadari tentang keterbatasan pendekatan ini. Oleh karena itu kelompok Annales lebih menekankan pada keberagaman ilmu yang menjadikan jurnal mereka sebagai forum untuk keberagam arah dan pendekatan baru. Hal ini tidak terjadi dalam perkembangan historiografi Indonesia, baik karena alasan epistimologis maupun politis. Tradisi historiografi Indonesiasentris selama ini gagal menghadirkan keberagaman historiografis. Keberagaman metodologi dan perspektif seolah-olah sebagai sesuatu yang diharamkan.

12. Kelompok Annales juga tidak terikat pada ideologi kebangsaan, biarpun sebagian besar para pendukungnya dapat dikategorikan sebagai kelompok republikan dan patriot. Oleh karena itu Annales tidak menempatkan negara sebagai elemen kunci melainkan lebih menekankan pada elemen masyarakat dan kebudayaan. Politik dilihat sebagai complex of interpersonal relation. Kebudayaan tidak dianggap sebagai hak istimewa intelektual dan estetis para elite, tetapi lebih merupakan cara dari kehidupan dan pengalaman seluruh masyarakat. Hasilnya, “kings appear rarely and only marginally” dalam penulisan sejarah. Sebaliknya, historiografi Indonesiasentris sangat nasionalistik, formal, dan tetap menjadikan negara, pemerintah dan elemen politik sebagai pokok dalam “mengungkapkan pelbagai dimensi dari kehidupan bangsa Indonesia”. Sejarah bertujuan untuk mencari orang besar dan pahlawan besar. Rakyat, terutama mereka yang tertindas dan kehidupan sehari-hari hampir-hampir tidak ada tempat dalam sejarah Indonesia. Perempuan dan “minoritas” lainnya juga tersingkirkan, baik sebagai faktual historis maupun perspektif.

13. Konsep tentang sejarah nasional tetap dikenal dalam tradisi Annales, akan tetapi kenasionalan itu tidak didifinisikan dari ibu kota pusat kekuasaan melainkan lebih didasarkan pada keberagaman wilayah yang memiliki identitas tersendiri yang tidak banyak berubah biarpun dalam kurun waktu yang panjang. Ketika tradisi Annales sudah tidak lagi berpijak pada konsep waktu linier, melihat sejarah dalam konsep longue duree, dan memahami kebudayaan atau masa sebagai bagian dari proses sejarah, tradisi historiografi Indonesia masih menekankan pada perubahan dan memahami sejarah itu sendiri sebagai proses perubahan dalam konteks waktu. Sejarah seharusnya tidak dipahami sebagai suatu gerakan yang melintasi satu dimensi waktu dari masa lalu ke masa depan, melainkan adanya relativitas dan lapisan-lapisan dalam waktu. Bangsa yang biasanya dianggap sebagai pemberi identitas tidak lagi menjadi pokok dalam tradisi Annales, sehingga historiografi adalah regional atau supranasional. Sementara itu historiografi Indonesia tetap melihat “Jakarta” sebagai penentu dari kenasionalan dan keindonesiaan, yang kemudian membangun miniatur-miniatur ke bawah secara birokratis sehingga menafikan prinsip keunikan dalam sejarah. Biarpun sejarah lokal dan jenis-jenis sejarah lainnya dikenal di Indonesia, periodisasinya disusun berdasarkan periodisasi sejarah politik pusat kekuasaan.

14. Kelompok Annales juga sangat memperhatikan mentalitas kolektif yang mencakup pengalaman dan perasaan. Setiap kebudayaan adalah sebuah sistem makna yang diekspresikan dalam bahasa dan simbolisme. Sejarah adalah sejarah kesadaran dan sejarah mentalitas yang mengeksplorasi kepercayaan dan sikap masyarakat dalam konteks sosial ekonomi. Tukang sihir, makhluk gaib, dan dukun menjadi bagian dari kajian sejarah dalam tradisi Annales, sesuatu yang hampir-hampir tidak mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. Akibatnya, para sejarawan Indonesia tidak dapat menjelaskan secara historis realitas mentalitas masyarakat yang berhubungan dengan para wali, Nyai Roro Kidul, Tuyul, dan juga kekerasan. Kenyataan sejarah yang tersembunyi pada karya-karya sastra, seni, dan tradisi lisan masyarakat hampir-hampir tidak tersentuh atau bahkan telah divonis tidak ada hubungannya dengan sejarah yang mementingkan “fakta” keras. Karya-karya Kuntowijoyo dan Onghokham mungkin dapat disebut sebagai kekecualian, yang mampu menghadirkan sejarah Indonesia sebagai sejarah kebudayaan, sejarah intelektual, sejarah mentalitas, dan sekaligus sejarah sosial.

15. Biarpun memberi ruang yang sangat besar pada masyarakat, tradisi Annales juga mengembangkan history without people, kajian yang membuka kesempatan untuk membuka kajian jenis-jenis sejarah baru seperti sejarah kuantitatif, sejarah iklim, dan sejarah bencana. Tradisi historiografi Annales juga mendapat dukungan yang kuat dari pengetahuan dan keterampilan geografis, sesuatu yang benar-benar tidak diperhatikan dalam pendidikan sejarawan di perguruan tinggi di Indonesia.

16. Terakhir, ketika tradisi lain dari pemikiran Prancis menghasilkan kesadaran dekonstruktif dalam historiografi yang memberi peluang bagi pemaknaan terhadap masa lalu dalam perspektif kekinian, historiografi Indonesiasentris masih terus berkutat hanya di sekitar masalah konstruksi dan rekonstruksi yang menjadikan sejarah sebagai antikuarian. Oleh karena itu sebuah historiografi Indonesiasentris baru harus dirumuskan dengan memanfaatkan tradisi historiografi dan pemikiran Prancis untuk menghasilkan sejarah Indonesia untuk dunia. Kalaupun harus memihak, maka historiografi Indonesiasentris itu harus berpihak pada keberagaman dan segala sesuatu yang tertindas dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip sejarah kritis.

* Penulis adalah Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, FIB, Universitas Gadjah Mada.

** Makalah ini disampaikan dalam seminar bertema: Catatan Sejarah Indonesia : sebuah Perspektif Prancis, pada hari Rabu, 11 Maret 2009 sebagai mata rangkai Public Culture Series bertajuk: Pemikiran Kritis Prancis dan Implikasinya di Indonesia Sekarang ini