Melihat Praktik Pendokumentasian Melalui Tuol Sleng Genocide Museum
Berkunjung ke Tuol Sleng Genocide Museum pada pukul 1 siang–setelah makan siang–ternyata menjadi pilihan yang tepat. Bukan karena tidak ada pilihan makanan, namun dikarenakan pengalaman berada di dalam museum yang cukup membuat hati sangat gundah gulana–bagi saya perasaan ini bisa sangat mempengaruhi pola makan.
Tuol Sleng Genocide Museum sengaja didirikan untuk memberi penghormatan dan sebuah pengakuan terhadap tragedi genosida pada tahun 1975-1975 di bawah kekuasaan Pol Pot atau sering dikenal sebagai S-21 atau Tragedi Khmer Rouge. Kekacauan politik yang menyebabkan tragedi genosida ini menewaskan kurang lebih 1,5-3 juta manusia atau setara dengan 25% populasi penduduk Kamboja dalam kurun waktu dua tahun. Tentu saja, dengan cara yang sangat keji dan cerita penyiksaan habis-habisan tanpa ampun pun menjadi serangkaian kisah pembunuhan dalam tragedi ini. Semua kisah sedih dan situasi mencekam ini berhasil diceritakan oleh audio guide museum, foto dokumentasi pada tahun tragedi penyiksaan yang sangat jelas tanpa ada sensor hingga desain bangunan fisik museum yang seolah membiarkan semua tragedi ini terlihat oleh publik sekaligus mesin waktu.

Ketika berjalan keluar, saya melihat ada 3 orang yang berdiri di belakang meja bertumpukan buku. Awalnya saya kira mereka adalah penjual buku souvenir. Ternyata mereka bertiga merupakan penyintas dari tragedi S-21 ini yang sedang menjajakan buku biografi tentang dirinya. Mereka tampak penuh keteguhan untuk berdiri dan memperkenalkan dirinya bahkan menunjukkan fotonya ketika menjadi tahanan. Bagi saya, ini adalah hal yang sangat luar biasa untuk bisa bertahan berdiri di lokasi penuh dengan memori buruk bahkan mungkin terburuk dalam hidup.
Di sisi lain, beberapa cerita dan pernyataan warga lokal mengatakan bahwa tragedi Khmer Rouge ini merupakan hal tabu dan tidak mudah untuk bisa dibicarakan. Tentu saja, ini menjadi dua mata pisau yang saling berseberangan namun menyiratkan pesan di baliknya. Mendirikan museum dan mendapati bahwa tiga penyintas mampu berdiri bahkan memberikan informasi tentang tragedi yang dialami melalui buku mampu menyiratkan–yang barangkali–pesan baik. Namun di sisi lain, mendapati bahwa kisah Khmer Rouge ini menjadi tabu dan tidak mudah dibicarakan juga menyiratkan pesan yang lain.
Saya jadi teringat bagaimana Kamboja menjadi negara yang terkenal cukup baik bagi skena fotografi jurnalistik dan dokumenter melalui Angkor Photo Festivalnya. Selain itu, beberapa NGO (Non-Governmental Organization) yang bergerak di bidang audio visual juga memfokuskan diri dalam pengelolaan arsip seperti Bophana Art Centre dan DC-Cam. Mereka memiliki kecenderungan untuk menggunakan medium fotografi dan video sebagai pengeras suara sekaligus pendekatan untuk isu-isu yang dianggap tabu dan tidak bisa dibicarakan secara lisan.
Ini menjadi salah satu data temuan awal yang menarik. Yang mampu memberikan tanda tentang bagaimana peran media dan pendekatan visual bekerja secara aktif di negara ini. Mengingat rentetan tragedi terjadi di Kamboja pada era kontemporer, tentu saja hal ini menimbulkan banyak sekali perubahan dan pengaruh bagaimana negara ini bekerja dengan peran media dan pendekatan visual sebagai bagian dari budaya mereka.
Gatari Surya Kusuma