Kesan Pertama Berada di Tiny Toones, Phnom Penh
Tiny Toones sebagai ruang pendidikan seni alternatif memiliki poin menarik untuk diperbincangkan baik dari segi seni, komunitas maupun pendidikan. Sasaran utama bagi program pendidikan mereka adalah anak usia 6-17 tahun. Rentang usia ini didapat dari permasalahan anak-anak hingga remaja yang dihadapkan dengan banyaknya transaksi narkoba di sekitar mereka. Sehingga, ketakutan terbesar untuk mereka adalah terjerumusnya mereka ke dalam perilaku yang terlalu bahaya bagi seusia mereka. Selain itu, permasalahan runtuhnya semangat untuk tetap menempuh pendidikan di bangku sekolah formal juga menjadi salah satu alasan kuat munculnya Tiny Toones. Sehingga, Tiny Toones menggunakan hip hop sebagai pintu masuk untuk menuju tujuan ini.
Mengunjungi Tiny Toones untuk pertama kali cukup membuat rasa penasaran terhadap skena pendidikan, pendidikan alternatif dan seni di Kamboja khususnya Phnom Penh sedikit terjawab. Saya dan Nuning tiba di Tiny Toones pada pukul 1 siang waktu setempat. Ketika tiba, ada satu perempuan terlihat berusia 20 awal menyapa dan telah mengetahui maksud kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan Shhort–Eksekutif Manager Tiny Toones.
Kami diantar untuk menuju lantai dua dari bangunan terpisah yang terpisah dengan bangunan utama. Tiny Toones merupakan ruang pendidikan alternatif yang menggunakan hip hop sebagai salah satu pintu masuk sekaligus media untuk mencapai tujuan–menyelamatkan anak anak dan remaja dari ancaman dunia narkoba. Setelah kurang lebih 45 menit berbincang di dalam ruang, kami memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas belajar. Ruangan kelas yang kami kunjungi adalah kelas dance. Bisa dikatakan seluruh tembok di ruangan tersebut penuh berisikan gambar grafiti yang berhubungan dengan aktivitas hip hop.
Kami menghabiskan waktu 30 menit di dalam ruang kelas tersebut dan terlena menikmati dentuman musik hip hop pengiring latihan. Kelas itu dipimpin satu pengajar yang sudah ahli dalam gerakan-gerakan tari hip hop. Peserta kelas tersebut adalah remaja dengan rentang usia 14-17 tahun. Kurang lebih berisikan 10 murid. Selain kami–pengunjung–juga ada dua orang lainnya dari Amerika. Mereka adalah pemain breakdance yang sengaja datang ke Phnom Penh untuk mengikuti kompetisi. Saya memperhatikan bagaimana dua orang tersebut berinteraksi. Terdengar mereka beberapa kali menyebut kata “yeah” untuk mengungkapkan setuju, sembari diikuti dengan gerakan badan yang meliuk seolah semakin meyakinkan bahwa ia benar-benar setuju.
Meskipun cara berpakaian tidak selalu berhasil untuk menunjukkan identitas seseorang, namun ada beberapa pola dan tanda yang terlihat dari cara berpakaian yang merujuk kepada identitas si pengguna. Sama halnya dengan dua pengunjung yang saya amati. Mereka bergaya sangat dekat dengan hip hop yaitu baju oversized dengan topi snapback yang dihadapkan ke belakang. Selain itu, pemilihan sepatu juga terlihat bahwa mereka memilih sepatu yang nyaman bagi mereka untuk bergerak. Begitu halnya dengan Shhort. Ia juga berpakaian dengan gaya hip hop.
Beda halnya dengan pengajar yang ada di kelas dance tersebut atau pengajar dari kelas lain. Empat pengajar yang kami temui, mereka semua sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka dekat dengan skena hip hop, mungkin karena memang mereka di sana untuk mengajar mata pelajaran lain selain hip hop, kecuali pengajar dance. Selanjutnya yang saya amati adalah tembok-tembok yang ada di Tiny Toones. Bisa dibilang, hampir tidak ada tembok kosong karena terisi penuh dengan grafiti. Ada gambar figur hingga teks-teks dari yang merujuk kepada aktivitas hip hop dan nilai-nilai yang harus diamalkan dalam Tiny Toones.
Begitupun dengan anak-anak yang menjadi murid di Tiny Toones. Mereka bebas berpakaian seperti apa, bergerak ke sana kemari, bahkan mereka bisa menentukan untuk tidak mengenakan alas kaki. Namun, mereka dibatasi oleh satu pagar besi dan tembok besar. Ketika kami sedang duduk di dekat pagar, tiba-tiba ada dua anak kecil berusia 3-4 tahun menerobos masuk karena pagar tidak ditutup. Dengan sigap, salah satu pengajar Bahasa Inggris mencoba untuk menutup pagar dan menunjukkan gestur tubuh bahwa mereka tidak boleh masuk.
Di beberapa menit sebelum kami putuskan pergi, saya menangkap kesan yang sangat kuat tentang bangunan dan dinamika di dalam ruang pendidikan seni alternatif ini, yaitu kebebasan, kerapuhan–karena beberapa bagian tembok tampak disengaja keropos–namun penuh perlindungan. Kesan ini mengingatkan saya terhadap diskusi di Sekolah Salah Didik pada uji coba metode pertama, Jacoto School. Ada obrolan tentang membedah apa yang dimaksud dengan lingkungan mempengaruhi cara belajar. Dan hal ini lah yang saya temukan sebagai kesan pertama mengunjungi Tiny Toones, mereka bebas dan mengikuti minat–hip hop–namun cukup kuat dalam memberi perlindungan kepada anggota sekolah tentang apa yang terjadi di luar sekolah. Entah itu memang baik bagi mereka atau justru menjauhkan mereka dari proses penyelesaian masalah tentang realita di luar tembok sekolah. Untuk hari ini, saya belum mendapatkan jawabannya.
Gatari Surya Kusuma