Kalaupun Punk Mati…

Sebagai salah satu tampilan subkultur yang kini sering diutak-atik dalam beragam laporan ”tampak muka” rubrik gaya hidup di media massa sehari-hari, punk dibaca secara nostalgis dalam hubungannya yang selalu serba salah di hadapan tradisi (lokal) dan konvensi (norma maupun pasar). Jika dipahami bahwa kultur adalah peta makna dan ideologi yang menjadi pola dalam merespon kondisi struktural, dan subkultur adalah bentuk simbolik yang dikembangkan kelompok tertentu untuk menegosiasikan posisinya dalam peta tersebut, cara baca di atas cenderung meletakkan yang kedua (baca: punk) sebagai yang kalah; di mana sebagai bentuk resistensi ia dicurigai mengalami mandul begitu ”keonaran” yang ditawarkannya justru mengandung nilai jual yang bekerja baik dalam perluasan pasar. Dalam konteks pengamatan yang demikian pula dibayangkan bahwa pada suatu ketika pernah ada pemaknaan punk yang otentik, yang setidaknya pernah berhasil ”mengganggu” dan pada waktunya diserap kembali oleh budaya dominan. Pemahaman dialektika kebudayaan yang  cenderung menyederhanakan dan solutif inilah yang juga kerap dituduhkan  pada  subkultur lainnya dalam beragam tahap kelanjutannya.

Telaah Dick Hebdige tentang punk (1979) adalah satu dari banyak rujukan yang paling sering diangkat ketika subkultur ini didekati sebagai sebuah fenomena sosial, termasuk juga  dalam buku karya John  Martono dan Arsita Pinandita (2009) yang saya jadikan sebagai titik berangkat proyek penulisan ini. Dengan berfokus pada momen mana punk diciptakan, penulis berkebangsaan Inggris tersebut membaca bagaimana anak muda kulit putih di kalangan pekerja pada situasi paska Perang Dunia II melalui gaya dan artefaknya yang campur aduk  mengembangkan subkultur mereka sendiri sebagai bentuk resistensi simbolik, perjuangan budaya-tanding dan penciptaan ruang kebudayaan yang otonom.

Amatan tentang kondisi subkultur yang asli inilah yang kemudian dipertahankan hingga sekarang, teori subkultur cenderung menyibukkan diri pada momen kreatif penciptaan tertentu berikut aktor-aktornya yang terlibat, sementara mengabaikan tentang bagaimana gaya tersebut kemudian dipakai di kalangan anak muda yang lebih luas. Asumsi ini kemudian berimplikasi pada perayaan terhadap gaya yang berbau resisten dan pengebawahan terhadap segala bentuk kebudayaan populer, sebagai dikotomi antara subkultur dan masyarakat dalam konteks yang paling luas. Ini pula yang misalnya tercermin dari lahirnya distingsi di dalam subkultur itu sendiri, misalnya antara punkers sejati dan poseur.

Niatan kreatif dan orisinalitas inilah yang seringkali menjadi ukuran nilai bagi seorang punk, di luar perkara individualitasnya.  Padahal Hebdige sendiri mencatat  bahwa ”tidak semua punk memahami perbedaan antara pengalaman dan pemahaman ketika mengenakan gaya tersebut” atau pemahaman atau gaya tersebut hanya dipahami  oleh gelombang pertama anak-anak muda yang punya kesadaran diri dan bersekolah di sekolah seni ”sementara tetap tidak dapat diakses oleh mereka yang menjadi punk setelah subkultur ini muncul dimunculkan ke publik” (Hebdige, 1979:22).

Menurut saya menjadi mubazir untuk merayakan kesejatian punk ketika ia sudah menjadi produk yang dipasarkan dan dipajang di halaman tengah majalah mode. Diletakan dalam kerangka ini bunyi pertanyaannya menjadi: Jika benar subkultur punk tengah kehilangan daya resistensinya, apakah keterserapannya dalam  budaya dominan menjadi satu-satunya penyebab? Apakah yang dinamakan budaya dominan ketika globalisasi memunculkan beragam subkultur secara bersamaan? Di mana sebenarnya posisi pasar dalam arena pertarungan ketika ia selalu berhasil mencaplok kembali seberapapun radikal dan beragam resistensi yang dicetuskan?

Sambil menelusuri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita masuk pada diskusi mengenai perkembangan scene punk  lokal di Indonesia.

***

Seperti yang juga sempat diulas  singkat dalam buku yang  sedang diluncurkan ke publik kali ini, jelas berbeda dengan modus eksistensinya di Barat yang diajukan oleh anak-anak muda kelas pekerja kulit putih sebagai medan perjuangan politik untuk  melawan produksi kebudayaan yang sarat dengan dominasi kelas, punk di sini justru pertama kali disambut hangat oleh mereka yang tumbuh dari kelas menengah, melalui fesyen dan musik (baca: pasar) sebagai kanal utamanya. Oleh anak-anak muda berpendidikan yang lahir di kalangan mapan inilah, gaya punk dicangkokkan sebagai bentuk perlawanan yang diarahkan lingkungan yang terdekat: melawan konstruk nilai yang normatif baik di rumah, sekolah maupun lingkungan sosial, menantang bentuk-bentuk pendisiplinan dan penyeragaman. Gaya ini memberi sedikit ruang gerak bagi anak muda untuk ”melawan” bayangan kekuasaan yang diwakili oleh kemapanan, masih dalam batas-batasnya yang apolitis.

Dalam dinamika politik yang mengikutinya, terlihat pula bagaimana sebagai subkultur, punk tidak berada di ruang yang tidak tersentuh oleh konteks kemasyarakatannya. Penguatan gerakan politik di kalangan punk menempuh titik balik yang juga kurang lebih sama dengan yang dialami dalam aktivisme mahasiswa, lingkungan dan feminis  pada masa akhir Orde Baru, tentu saja dengan gaya jalanannya yang khas. Persentuhannya dengan dimensi politik  melalui keanggotaan di kelompok militan politik itu, ikut demo anti pemerintah, dan hadir di diskusi-diskusi politik menjadi upaya pembelajaran ekstra bagi kelompok ini berbarengan dengan masuknya wacana dan ideologi anarkisme yang ditularkan lewat zine-zine luar negeri seperti Profane Existence (Fathun, 2007). Periode ini menjadi juga penting bagi konsolidasi punk sebagai gerakan, di mana pola persebaran dan pertukaran informasi ke berbagai daerah berlangsung baik dengan distribusi aktual via zine,  maupun virtual seiring dengan semakin maraknya warung internet pada masa itu. Di ranah yang lebih luas, upaya serupa juga ditempuh orang pada masa itu untuk mengakses, memproduksi dan mendistribusikan informasinya dengan cara-cara memotong jalur pengawasan kekuasaan.

Memasuki krisis sosial politik yang berkepanjangan, keterlibatan gerakan punk dalam perlawanan pun meluber. Beberapa yang produktif dengan kritik dan wacana politiknya masuk ke dalam gerakan yang kini lebih spesifik dikenal sebagai anarko-punk. Dari amatan sepintas, beberapa punk kini memilih tampil  dengan mengenakan ikon-ikon lokal seperti Marsinah, Moenir atau Pramoedya Ananta Toer, sebagai simbol anti penindasan. Beberapa yang lain menajamkan gerakannya pada isu-isu yang juga sama gentingnya, seperti lingkungan, anti diskriminasi, anti homophobia dst. Yang lain memilih untuk menanggalkan atributnya yang tidak permanen (selain tattoo), dengan alasan tuntutan pekerjaan, menikah atau berbagai alasan praktis lainnya. Namun secara ideologis, tidak jarang pula mereka mengaku tetap “berjiwa punk” meskipun sudah tidak mengenakan atributnya. Bahkan tidak sedikit mereka yang kemudian beralih subkultur: menjadi anak emo, metal dan kadang ada yang kembali lagi menjadi anak punk. Semua ini adalah spektrum penyikapan di kehidupan sehari-hari yang seringkali diluputkan dari deskripsi esensialis dan non-kontradiktif atas subkultur punk.

Seturut dengan itu pula, semangat do it yourself yang diangkat komunitas punk sebagai dimensi pemenuhan kebutuhan secara mandiri kini mendapat sambutan luas di masyarakat paska krisis ekonomi, pertama-tama lewat kalangan anak muda perkotaan untuk kemudian merembes ke daerah. Distro, zine dan indie music label menjadi bagian dari gaya ungkap anak muda sehari-hari dan bahkan belakangan ini pula dicanangkan oleh negara lewat wacana ekonomi kreatifnya sebagai prinsip yang terbukti tidak rentan di hadapan krisis global. Irisan dengan logika kapitalisme inilah yang berulang kali dikhawatirkan sebagai akhir dari punk, baik oleh konstituennya maupun dalam pandangan awam.

***

Tapi seperti dari uraian yang sangat singkat di atas, tidak satupun saya temukan kemandekan dari apa yang dinamakan punk. Sebagai sesuatu yang dicangkok, -kalau bukan diimpor, dari Barat, scene punk lokal tumbuh dan menemukan perjalanannya sendiri, tentu dengan bermacam irisannya di level individual sampai global, yang sayangnya karena keterbatasan ruang penulisan, tidak dapat dijabarkan dinamika empirisnya secara rinci. Persoalan bagaimana punk dicangkokkan di luar tampilannya yang spektakular, dalam konteks mikro politik sehari-hari misalnya, menjadi topik lain yang belum banyak dikaji. Sementara itu kalaupun ingin tetap berkeras pada pemaknaan punk sebagai perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan, maka kekuasaan yang dituju semestinya bukan entitas tunggal dan selalu beralih rupa. Dalam proses ini pula punk memerbaharui pola resistensinya ke dalam  taktik yang lebih beragam.

Sebagai fesyen, atribut punk menjadi salah satu bagian dari trend mode yang paling ajeg direproduksi dan dikonsumsi oleh publik luas. Sebagai subkultur, punk harus terus menerus bernegosiasi dengan budaya yang semakin beragam dan dengan demikian dihadapkan dengan semakin rumitnya tantangan untuk menempuh aksi dan refleksi. Sebagai identitas, punk bisa dikenakan sebagai tampilan, diinternalisasi sebagai ideologi, dicangkokkan ke dalam bentuk lokal, diterjemahkan, ditularkan dan dipelajari, dipelintir untuk kepentingan sosial, ekonomi dan seterusnya. Sebagai nilai, idealisme DIY dan kesetaraan yang diusung punk menjadi salah satu yang paling sering ditonjolkan ketika kultur anak muda masa kini diperbincangkan. Melihat sedemikian merasuknya subkultur yang ditengarai eksis di Indonesia kurang dari tiga dasawarsa ini dalam ranah keseharian, saya percaya, kalaupun punk sampai mati, maka hantunya pasti banyak bermunculan  dimana-mana.

 

Referensi

  • Hebdige, Dick. Subculture: The Meaning of Style. London: Methuen, 1979.
  • Karib, Fathun.  “Sejarah Komunitas Punk Jakarta” Ringkasan skripsi jurusan Sosiologi, Universitas  Indonesia, 2007 (diunduh dari: www.jakartabeat.net/index.php)
  • Martono, John dan Arsita Pinandita Djumadi. Punk: Fesyen-Subkultur-Identitas, Yogyakarta: Penerbit Halilintar, 2009.
  • Thorston, Sarah dan Ken Gelder. (ed.), The Subcultures Reader. London: Routledge, 1997.