Jompet berbicara tentang Jompet

WarofJava_DoYouRemember#1_2008
Potongan karya “Java’s Machine: Phantasmagoria” (Foto: Dokumentasi Rumah Seni Cemeti)

1. Sejak kapan kamu mulai mengambil budaya Jawa sebagai bahan dasar bagi karya-karyamu? Bisakah kamu menjelaskan alasan di balik pilihanmu itu?

Karya-karyaku paling banyak berbicara tentang tema “self and others”. Paling tegas ada di serial karya interaktif  “1 hour to be Other” (2003-2005) dan “Cross Personal Respiratory” (2005). Dalam karya itu aku secara eksplisit dan partisipatif mengajak orang-orang untuk menanyakan kembali siapa “aku” dan siapa “liyan” dan segenap pertanyaan turunannya. Setelah karya itu dipamerkan di banyak tempat dan menghasilkan banyak interaksi, aku merasa harus membawa gagasan ini ke dalam konteks yang lebih ‘tegang’ dan relevan.

Antara tahun 2002 – 2005 aku terlibat dalam produksi Teater Garasi untuk serial ‘Waktu Batu’. Sebuah serial karya yang secara detil berusaha mencerna ulang pertanyaan-pertanyaan tentang Identitas Jawa. Buatku, proyek ini adalah proyek yang penting, yang sangat mempengaruhi mental orang-orang yang terlibat didalamnya di kemudian hari. Tidak hanya sekedar proyek penciptaan karya seni tetapi juga merupakan proyek ‘self discovery’ bagi para pelakunya.

Dari situ aku kemudian menemukan konteks baru yang aku rasa lebih ‘tegang’ dan relevan dari gagasan “self and others” ku, yaitu konteks masyarakat Jawa, dimana aku menjadi bagian di dalamnya.

Lalu tercipta beberapa karya yang berangkat dari konteks yang baru tersebut: Next Java (2006), Kala-kali (2007), Java-amplified (2008). Dalam karya-karya tersebut aku masih sekedar mencoba menunjukkan/mengekspresikan ‘ke-berlapis-an’ Jawa melalui permainan materi visual. Kemudian dalam seri karya “Java’s Machine : Phantasmagoria” (2008) aku semakin menukik mengolah gagasan tentang bagaimana Jawa menciptakan mekanisme pertahanannya ketika terjadi kontak dengan asing.

2. Salah satu kata kunci di karyamu kali ini adalah “sinkretisme”. Sejauh pemahamanku atas karyamu ini: sinkretisme dipahami sebagai strategi untuk menyatukan dua atau lebih hal yang saling berlawanan. Tetapi jika kita memindahkan konteks pembicaraan ke luar Jawa, maka akan jelas terlihat bahwa sinkretisme juga secara masif dipraktekkan. Singkatnya, sinkretisme bukan strategi yang secara spesifik dimiliki Jawa. Bagaimana pendapatmu? Atau apakah kamu menyaksikan sebuah praktek sinkretisme yang khusus yang menurutmu hanya ada di Jawa?

Ya, sinkretisme memang bukan hanya milik Jawa. Ya, sinkretisme Jawa pasti memiliki kekhususan, karena sejarah kontak Jawa dengan asing tidak ada duanya di dunia.

Aku belum bisa bicara banyak tentang seberapa khusus sinkretisme Jawa dibanding sinkretisme di luar sana. Aku lebih berbicara tentang bagaimana Jawa menemukan sinkretisme sebagai satu strategi pertahanan yang terus menerus direproduksi dan dikembangkan dari jaman ke jaman, dan relevansinya dengan situasi sekarang.

Jawa (sangat susah menyebut siapakah Jawa awal), sejak awal kontaknya dengan asing, telah menempatkan sinkretisme sebagai satu bentuk ‘perdamaian’ dengan asing, bukan ‘kekalahan’ atau  ‘takluk’. Satu bentuk ‘pedamaian’ yang menyepakati perubahan bagi setiap komponen kebudayaan yang bersinggungan dan menjalani satu bentuk kebudayaan baru. Bagi Jawa, sinkretisme adalah cara untuk bertahan hidup dan mengembangkan diri. Sampai pada titik ini tidak ada yang istimewa dari sinkretisme Jawa.

Tetapi setelah melihat sejarah kontak Jawa dengan asing yang sedemikan panjang dan beragam, katakanlah kontak Jawa dengan Hindhu, Budha, Islam, Kolonialisme, Liberalisme, dan Kristen, dan melihat bagaimana Jawa bisa bertahan dan memproduksi Jawa-Jawa baru atau bahkan Hindhu baru, Budha baru, Islam baru, dst. melalui sinkretismenya tentu inilah yang membuat sinkretisme Jawa menjadi istimewa..

Dengan membaca catatan-catatan sejarah dan melihat artefak-artefak yang ada saat ini, aku kemudian melihat dan berani beranggapan bahwa sinkretisme Jawa justru telah menjadi mesin utama kebudayaan Jawa itu sendiri. Sinkretisme telah menjadi jantung dari keberlangsungan peradaban Jawa.  Dan jika sinkretisme difahami sebagai mesin, maka bahan bakar yang dibutuhkan adalah kontak dengan asing. Dengan kata lain, Jawa akan selalu membutuhkan kontak dengan asing (entitas dari luar sana yang berbeda) untuk membuat dirinya survive dan berkembang.

Inilah yang kemudian relevan dengan persoalan Jawa dan dunia saat ini, dimana “yang berbeda dan asing” sedang mengalami hantaman serius dari ide-ide ekstrim tentang peyeragaman (sebutlah globalisasi) dan ide-ide tentang fundamentalisme (fanatisme golongan) sebagai ekstrim yang lain.

Juga ada sedikit niat moral untuk mengingatkan pada diri kita dan menunjukkan pada dunia bahwa Jawa tidaklah tunggal, Jawa adalah kolase dan berlapis yang harus dilihat secara proporsional, tidak hanya Jawa-nya Amrozi atau Jawa yang penuh korupsi. Pada saat karya ini dipamerkan di Jepang, ada impresi yang instan dari kebanyakan penonton ketika melihat bentuk seragam prajurit kraton, yaitu kolase beragam kebudayaan, dan dari buku panduan mereka kemudian tahu darimana prajurit-prajurit ini berasal. Ini sangat berharga buatku.

3. Dapatkan kamu menjelaskan proses pemilihan elemen-elemen ‘mesin pembuat gula’, ‘mesin mimpi’, ‘tarian jawa’, ‘militer jawa’ dalam karyamu ini?

Aku menempatkan sejarah perang fisik di Jawa sebagai data aktual tentang konflik Jawa dengan asing sekaligus sebagai metafor pertarungan nilai-nilai Jawa dengan nilai-nilai asing. Perang sebagai satu bentuk kebuntuan negosiasi antar individu sekaligus satu bentuk pertarungan nilai yang harus dijalani, dan pada jamannya, perang fisik adalah sebuah instrumen yang lazim digunakan untuk bertahan dan untuk berkembang.

Jawa memiliki kemampuan perang yang luar biasa di masa lalu, ingatlah betapa catatan-catatan ekspedisi Eropa mengagumi armada kapal perang dan meriam Jawa yang canggih. Ingatlah juga 700an prajurit Sultan Agung yang melakukan bunuh diri masal setelah setelah gagal menaklukkan Batavia. Ingat juga keberhasilan prajurit Diponegoro memporak porandakan keuangan kolonial meski harus kehilangan separuh populasi Yogyakarta.

Singkatnya, Jawa dengan segala kemampuan perangnya yang ekstrim, mengalami kekalahan fisik yang parah di akhir perang Jawa (1830), semenjak itu seolah Jawa dalam kendali penuh Belanda. Intervensi Belanda di politik kraton tak terbantahkan dan sampai juga intervensi Belanda pada pembentukan prajurit Jawa. Belanda mulai menciptakan citra baru pada prajurit kraton melalui desain kostum-kostumnya. Jika kita melihat kostum prajurit kraton sekarang yang penuh dengan dekorasi dan simbol-simbol kita bisa langsung melihat betapa kostum itu tidak di desain untuk perang. Seolah terjadi pelemahan pada prajurit-prajurit kita, seolah mereka didandani sedemikian rupa dalam rangka mengagungkan satu simbol budaya tertentu dan hanya berfungsi sebagai perangkat seremonial hajatan kraton saja.

Mungkin aku adalah salah seorang yang berpikir positip dari fenomena ini. Aku melihat apa yang terjadi pada prajurit kita pasca perang Jawa adalah bahwa prajurit kita memasuki era perang yang baru, tidak lagi perang fisik melainkan perang nilai. Apa yang terjadi pada kostum mereka sekarang sungguh menunjukkan hal itu. Topi Eropa, baju tenun Jawa, sepatu lars Eropa, blangkon Jawa, drumband Eropa, tempo musik Jawa dan seabreg simbol yang tumpang tindih dalam kostum prajurit adalah simbol nilai-nilai yang sedang dipertarungkan. Tubuh prajurit sendiri merupakan medan perangnya. Dan bagaimana orang Jawa bernegosiasi dengan Belanda tentang posisi peletakan simbol-simbol tersebut adalah merupakan kemampuan perang yang baru.

Prajurit Jawa sekarang adalah semua orang Jawa yang menyediakan tubuhnya sebagai medan perang nilai-nilai, yang semakin hari semakin banyak nilai yang harus dipertarungkan, dan dalam tubuh-tubuh inilah Jawa-Jawa baru tercipta. Inilah sinkretisme Jawa yang paling mutakhir.

Mesin Pabrik Gula.

Pabrik Gula adalah salah satu artefak penting yang menceritakan sejarah pertemuan orang Jawa dengan mesin untuk pertama kalinya. Pasca perang Jawa, Liberalisasi ekonomi di Jawa dimulai, investasi swasta mulai berdatangan, intensifikasi pertanian dan industri yang masinal mulai diperkenalkan. Sekali lagi Jawa berhadapan dengan asing, bedanya, asing yang satu ini tidak berasal dari ras kulit atau suku tertentu, yang satu ini adalah sebuah sistem,sebuah jaringan. Mesin dan sistem yang berada dibelakangnya adalah sesuatu yang jauh lebih rumit dari yang pernah ditemui oleh orang Jawa.

Seberapapun rumitnya, perubahan jaman tidak bisa dihindari, orang Jawa harus menciptakan cara untuk tidak tergilas oleh mesin jaman yang bergerak cepat. Maka diciptakanlah ‘Cembengan’, satu ritual mistik yang memanggil orang-orang dan memanggil roh nenek moyang, menyatukan semua mantra dan doa yang telah dimiliki orang Jawa, untuk mengamini mesin-mesin penggilas tebu itu berputar, supaya orang-orang Jawa rela mendapati satu hal baru dalam kosmologi spiritual mereka, supaya orang-orang menjadi bagian dari mesin itu dan mesin itu menjadi bagian dari orang-orang. Supaya orang-orang merelakan sebuah perubahan.

Dalam karya video ‘War of Java, Do you remember? #2’ ada adegan seorang laki-laki menari jathilan di tengah-tengah mesin pabrik gula tua yang sedang bekerja. Ada banyak interpretasi dari video ini. Secara bentuk, aku membenturkan gerak organik tubuh seorang manusia dengan gerak kaku dan dingin mesin-mesin. Di sisi lain, tari jathilan yang biasanya merupakan medium untuk memanggil roh masa lalu dimainkan oleh seseorang dari masa kini di sebuah pabrik yang merupakan proyeksi masa depan aku manfaatkan sebagai metafor tentang bertemunya masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu titik, ini menjelaskan bagaimana orang Jawa memahami waktu, dan justru dengan pemahaman yang demikian Jawa menjadi lebih lentur terhadap perubahan.

Mesin mimpi

Dalam karya ‘War of Java, Do you remember? #1’, ada semacam kelompok prajurit lombok abang yang sedang memberikan ‘pidato’ (melalui rekaman pita kaset). Pidato itu berisi tentang pernyataan bahwa Jawa sedang dalam keadaan darurat karena terkepung musuh dan memanggil orang-orang untuk menjadi bagian dari prajurit Jawa untuk ikut berjuang mempertahankan Jawa. Disebutkan siapa musuh Jawa sekarang, yaitu musuh yang sedemikian sakti, bisa berwujud laki-laki atau perempuan, bahkan bisa berwujud benda, bisa berwujud apa saja. Musuh yang tidak lagi menyerang tubuh, mereka sekarang menyerang pikiran orang-orang, menentukan cara bagaimana orang berpakaian dan berjalan, mereka mengubah mimpi orang-orang. Mereka tidak lagi berbentuk manusia, mereka adalah jaringan, jaringan yang merayu dan menggoda.

Dalam karya itu aku secara eksplisit sedang menjelaskan macam apa perang Jawa saat ini.

4. Dari hasil amatan kami atas karya-karyamu, jelas terlihat eksplorasimu yang kuat atas teknologi. Yang ingin kutanyakan adalah: apa yang membuatmu tertarik untuk mengambil teknologi sebagai pijakan bagi karyamu? Lebih jauh, aku penasaran, apakah teknologi yang pertama-tama membuatmu tertarik untuk mengeksplorasi mesin-mesin pembuat gula di karyamu ini atau hal lain? Jika demikian, apakah kamu bisa menjelaskan proses bagaimana teknologi bisa mengantarkanmu ke isu sinkretisme dalam budaya Jawa dsb?

Eksplorasi teknologi dalam karya-karyaku tidak ada bedanya dengan eksplorasi teknik pada seni lukis, patung atau seni lainnya. Pijakan bagi semua karyaku tentunya: gagasan, kemudian aku mencari medium atau teknik yang paling efisien untuk mengartikulasikan gagasan tersebut. Memang eksplorasi teknologi sering juga menjadi satu proses kreatif tersendiri dan aku menikmatinya.

Tetapi, seperti yang aku jelaskan di pertanyaan pertama, yang mengantarkan aku pada isu sinkretisme Jawa adalah gagasan tentang ‘self and others’ yang sering aku geluti di karya-karyaku terdahulu.

5. Mengacu pada jawabanmu yang pertama mengenai ‘self dan others’, bisakah kamu menjelaskan secara lebih dalam tentang landasan ketertarikanmu atas tema tersebut? Secara lebih sederhana: apa pentingnya pemahaman atas ‘self dan others’ ini dalam proses kreatifmu sebagai seorang seniman atau sebagai sebuah wacana yang kamu coba tawarkan kepada publik?

Ada beberapa hal. Aku memulai projek tersebut dengan pertanyaan: Bagaimana rasanya menjadi orang lain? Ini adalah pertanyaan yang muncrat dari kenyataan klise bahwa setiap pribadi adalah unik dan berbeda dan ada kecenderungan bagi antar individu untuk melakukan kontak, saling melihat, saling memahami dan saling bertukar. Betapa kontak dengan liyan adalah satu hal yang selalu dianggap penting dari jaman ke jaman sehingga harus selalu dicatat dalam sejarah dan dirawat artefak-artefaknya.

Terlahir sebagai orang Jawa, aku diperkenalkan pada bahasa Jawa yang mengenal pelapisan kelas sosial,dimana lapis kelas lawan bicara menentukan lapis bahasa mana yang harus digunakan. Ketika aku menggunakan bahasa itu aku merasa harus secara terus menerus memetakan posisi diriku atas orang lain, yang berarti pula aku harus terus menerus menayakan : siapa aku? Siapa kamu? Ini adalah pertanyaan politis yang sangat mendasar baik di tingkat pribadi maupun di tingkat kolektif, yang sangat menentukan karakter hubungan antar individu.

Tema “self and others” juga berangkat dari kepercayaan : tidak akan ada perubahan tanpa intervensi. Latar inilah yang aku anggap bisa membawa tema “self and others” ke dalam konteks yang labih luas yang menyangkut hubungan antar bangsa, antar budaya.

Apa pentingnya? Tidak ada yang lebih penting dari sekedar ajakan untuk melihat diri sendiri dan dunia dari bagaimana kita menyikapi (sejarah) hubungan kita dengan liyan.

6. Sejauh ini, bagaimana respon publik baik di level lokal maupun internasional terhadap karyamu ini?

Java’s Machine Phantasmagoria adalah karya baru, dan baru dua kali dipamerkan, Interaksinya dengan publik belum terlalu beragam. Sejauh ini…mmm…ok…Di Yokohama Triennale sangat Ok, di Cemeti belum selesai pamerannya tapi sejauh ini Ok….Hehe aku gak tahu apa yang mesti aku critakan….