Membaca Jakarta melalui Memori Kaum Elit dan Intelektual

Ledakan permasalahan sosial di Jakarta sudah semakin membuncah. Tajamnya kesenjangan sosial, kelas menengah kebawah yang tidak bisa mengakses perumahan murah, hingga transportasi perkotaan telah menjadi cerita lama di Ibukota Indonesia, Jakarta. Sehingga tak heran jika belakangan ini muncul kembali isu lama untuk memindahkan ibukota ke Palangkaraya di Pulau Kalimantan atau ke Sidrep di Sulawesi Selatan. Jakarta sudah sering dilihat dari kacamata birokrasi atau warga klas bawah yang marah. Lantas bagaimana dengan wajah ruang Jakarta di mata elit-elit yang telah sepuh dan seperti apa memori sertak kesan mereka terhadap kota dan ruang publiknya pada saat ini?

Buku terbaru Mrazek ini, A Certain Age: Colonial Jakarta through the Memories of its Intelectuals (2010), merupakan wawancaranya terhadap orang-orang tua terkemuka di Jakarta selama tahun 1990, 1995, dan 2000. Masa pendudukan Jepang dan sekitar kemerdekaan, dilihat Mrazek sebagai transisi dari kolonialisme ke poskolonialisme. Lantas mengapa intelektual dan kaum urban terkemuka?  Mrazek menjawab pertanyaan ini di akhir bab “Sometimes Voices“. Ia berasumsi bahwa mereka adalah elit terdidik, tersentuh dengan kultur pendidikan barat dan modernitas imperial yang bersifat sekuler. Pada tahun 1930-an, jumlah mereka tidak lebih dari 0,5 persen, namun mempunyai kekuatan penentu dalam menciptakan kemerdekaan dan memaknai ruang perkotaan. Berangkat dari asumsi ini Mrazek kemudian mewawancarai orang-orang penting, yakni mantan elit birokrasi seperti Rahmiatti Hatta, janda mendiang Bung Hatta, Roeslan Abdulghani, SK Trimurti, Oemar Dhani, Frans Seda, Kemal Idris. Tokoh ilmu sosial Koentjaraningrat, Des Alwi, Ong Hok Ham Rosihan Anwar, Miriam Budiardjo, Soemitro Djojohadikusumo. Budayawan Asrul Sani, Pangeran Puger, Romo Mangunwijaya.

Di bab pertama, “Bypasses and Flyovers“, Mrazek menggambarkan Jakarta sebagai kota kolonial yang telah dibangun sistem elektronik dan jaringan listrik dengan masif, di tengah debu-debu dan lumpur kota yang baru merdeka. Para perancang perkotaan (urban planners) dan arsitektur Belanda pada masa kolonial telah mengeluhkan pertumbuhan kota yang selalu berbanding terbalik dengan berkurangnya pepohonan dan ruang hijau. Banyak terjadi eksekusi, main hakim sendiri dan demonstrasi di jalanan, karena itu, bagi Mrs. Sosro, janda tua mantan jurnalis, Jalanan di Jakarta dipandangnya sebagai ruang yang penuh dengan kerusuhan, penjarahan, tidak dapat ditebak dan misterius. Naik turunnya perkembangan Jakarta ini juga diperhatikan oleh Prof. Roosseno Soerjohadikosoemo, seorang ahli ahli teknik. Mrazek menemuinya pada tahun 1995. Ia adalah arsitekt yang menjadi otak operasional dalam membangun Hotel Indonesia, Monas, Jalan Sudirman dan Tamrin, serta Masjid Istiqlal. Pada saat akhir periode kolonial belanda, tercatat ia telah meledakkan 50 jembatan dan jalan, namun pandangannya berbanding ketika pascakolonial. Sebuah jalan patutlah dibangun, dimodernkan, dirasionalkan. Ia terkagum-kagum ketika pertama kali menjajal jalan tol Cawang-Sudirman yang super mulus. Baginya, jalan mulus yang ia rasakan sekarang, adalah hasil dari menghancurkan jalan-jalan yang pernah ia bom dahulu. Inilah resiko dari modernitas.

Memandang Jakarta dari dalam Rumah: Batas antara Kedisiplinan dan Keliaran Kota

Mrazek tidak hanya bercerita terhadap Jakarta dan ruang publiknya yang semakin hilang, ia juga bercerita tentang kondisi dalam rumah kaum elit Indonesia ini. Dalam bab ”The Walls“ (dinding), Mrazek menarasikan bahwa dibalik dinding kaum elit Jakarta terdapat kehangatan dan keitiman dalam rumah. Sangat kontras dengan luar dinding rumah yang tidak ramah, liar, dan kisruh Kaum elit membangun dualisme antara ruang di luar rumah dan di dalam rumah, untuk melindungi dirinya. Tembok merupakan sensor yang menjadi penyeleksian dari segala ketidaknyamanan kota. Karena itu orang-orang elit dan cendekia Jakarta membangun dinding rumah setebal dan setinggi mungkin. Dinding juga menjadi partisi antara ruang tamu, kamar tidur majikan yang luas. Majikan menyisakan sedikit ruang yang hampir tak terlihat untuk pembantu yang diletakkan di bagian belakang rumah, seperti rumah milik sosiolog terkemuka, almarhum Prof. Selo Soemardjan (hal 36-7). Rumah-rumah orang-orang kaya seperti Pangeran Hardjonegoero dan Brotodiningrat yang merupakan bangsawan Jawa menempatkan pavilion dan kebun depan sebagai perluasan dari dinding dan memberi jarak ke arah pagar ada keintiman dalam menjamu tamu, sekaligus menjaga memori “kemewahan“ mereka yang memang terlahir di lingkungan istana.

Tidak cukup dinding, luasnya pagar menjadi ruang yang menjauhkan ketidaknyamanan Jakarta, agar tidak menular ke dalam rumah kaum elit. Di Bab ketiga tentang “The Fences“, pagar yang juga mencakup kebun bagian depan merupakan perluasan dari ruang kehangatan dan perluasan keintiman rumah tangga kaum elit. Anak-anak dapat berlarian dan orang-orang berusia lanjut dapat bercakap-cakap dengan suasana santai. Kaum elit dalam gambaran Mrazek menganggap bahwa pagar merupakan tempat transisi atau perbatasan antara hiruk pikuk jalan raya dan ruang pribadi. Pagar menjadi penting mengingat hampir semua rumah kaum elit selalu berhadapan dengan jalan besar. Karena itu pagar menjadi sensor untuk membatasi cahaya, suara [bedhug atau adzan misalnya], hewan masuk, tetangga mampir tiba-tiba atau orang-orang asing yang menyelinap.  Orang tua selalu merasa was-was ketika anak-anak mereka berada di luar pagar, seperti di jalan, rel kereta api sungai, jembatan. Berbagai mitos diciptakan untuk menakuti anak-anak yang berada di luar, seperti akan dimakan oleh Bethara Kala (raksasa Jahat dalam dongeng orang Jawa) jika hingga senja tak kunjung pulang  ke rumah yang penuh kehangatan dan keintiman (hal 90). Kawasan di luar pagar menjadi hal yang patut diwaspadai setelah terjadinya kerusuhan anti cina pasca kolonial di beberapa kota. Hal ini yang menjadi kekhawatiran intelektual keturunan Tionghoa seperti almarhum Ong Hok Ham dan Oei Tjoe Tat. Kekhawatiran terhadap rasisme “Belanda“ juga muncul pada intelektual seperti Prof. Wertheim dan Prof. Resink yang tetap bertahan ditengah-tengah berpulangnya para koloni ke tanah air mereka. Bahaya di jalanan Jakarta terus mengintai mengingat hingga kini dua entitas ras Mongolia dan Eurasia ini dianggap sebagai etnis terpisah dari orang-orang pribumi.

Di bab tentang “The Window” atau jendela, orang-orang elit selalu mempunyai “jendela“. Melalui jendela seorang anak kaum elit dapat meluar dunia luar yang lebih luas dari rumah, dinding, pagar, dan ruang kelas. Jendela menjadi pintu gerbang setiap keluarga kaum elit meraih cita-citanya. Jendela juga dapat berfungsi sebagai tempat untuk mengintip dan mengingat segala kejadian di jalanan Jakarta yang penuh dengan kegaduhan. Namun demikian Jendela kaum elit lebih bersifat metaforis. Jendela mereka adalah koleksi lukisan dan foto dinding dalam ukuran jumbo. Koleksi di dinding dianggap sebagai bagian dari jendela yang menunjukkan tentang sejarah, lanskap, dan ingatan-ingatan terhadap objek lukisan yang bersifat natural atau realis dan foto yang menggambarkan kehangatan serta keutuhan rumah tangga. Jendela lainnya adalah koran, karena dari warta beritanya seseorang mereka melihat wajah kota Jakarta yang terjadi pada hari itu dan membenamkannya ke dalam memori dalam menilai kota.

Kaca mata “Lain“ Melihat Jakarta

Rumah bagi kaum elit adalah ruang keintiman dan kehangatan keluarga, kecupan dan sapaan orang yang akrab, dapur yang unik, anak kecil berlarian, ada teh hangat dan bantal yang empuk. Sedangkan jalan diidentikkan dengan kehidupan menyesatkan, penuh tatapan curiga, kecemasan, tak ada larangan dan tak ada aturan. Bab dalam buku ini terbagi-bagi berdasarkan unsur rumah, namun ada bab empat, “The Classroom“ merupakan bab yang ganjil dimana Mrazek memasukkan unsur sekolah sebagai bagian terpisah dari elemen rumah yang menjadi topik inti buku ini.

Mrazek juga tidak seutuhnya menggambarkan Jakarta di masa kolonial. Hampir semua elite dan intelektual mempunyai memori masa kecil di luar Jakarta, yakni wilayah asal mereka seperti Payakumbuh, Malang, Blitar, Surabaya, Solo. Sedangkan Jakarta adalah kota dimana elit dan intelektual tersebut tinggal setelah berjuang lama dan menjadi mapan. Memori dan pandangan mereka yang diwawancarai tak lepas dari subjektifitas dalam melihat ibukota sebagai wilayah yang damai seharusnya seperti masa lalu atau masa kecil mereka di kampung. Pemikiran Mrazek juga terkesan melompat-lompat karena pendapat para narasumber dimunculkan secara singkat dan terpotong-potong, lantas muncul lagi secara tiba-tiba di halaman berikutnya. Mungkin Mrazek hendak menawarkan semacam metodologi baru historiografi dalam menuliskan hasil wawancaranya terhadap narasumber. Meski demikian, Mrazek secara lincah meramu buku memori kaum elit ini dengan merelasikan pandangan para teoretikus seperti Le Corbusier dan Charles Baudelaire dalam melihat modernitas orang-orang Paris, Walter Benjamin dalam melihat munculnya “mesinisasi kertas“ yang menjadi “jendela“ bagi orang-orang elit. Seperti karya sebelumnya Engineer of Happyland (2002), karya terbaru Mrazek kali ini tetap membincangkan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari manusia, namun mempunyai makna penting dan politis bagi khalayak banyak. Buku terbaru ini juga sekaligus menawarkan bagaimana kota Jakarta yang semakin sumpek ini seharusnya dibangun dan ditata dengan baik.

Hatib Abdul Kadir, Young Leader Fellow, Leiden University, 2010.