Homoseksualitas Indonesia di Persimpangan “Djalan Sampoerna”

jalan-sempurnaOleh Ferdiansyah Thajib

Pada tahun 2008, Penerbit Mimbar menerbitkan ulang naskah garapan Amen Budiman yang berjudul Jalan Hidupku: Autobiografi Seorang Gay Priyayi Jawa Awal Abad XX yang pernah diterbitkan oleh Penerbitan Apresiasi Gay Jakarta tahun 1992. Penerbitan pertama karya ini sendiri tidak berlangsung lama sebelum peredarannya dilarang Kejaksaan Negeri pada masa pemerintahan Soeharto karena dianggap immoral.

Naskah yang berjudul asli “Djalan Sampoerna” ini pertama kali ditemukan pada pertengahan tahun 1970’an oleh Ulrich Kratz, seorang peneliti sastra yang kini berbasis di SOAS, University of London, di Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan kode ML 512 dan ML 524 di seksi Kategori  Manuskrip Melayu, berdasarkan katalogisasi Indonesische Handschriften yang disusun Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka. Oleh Amen Budiman, naskah sejumlah kurang lebih 460 halaman ini ditulis ulang dan disunting dari bahasa asalnya yaitu Melayu sehari-hari yang bercampur dengan bahasa Jawa (Timuran) menjadi bentuknya yang sekarang yaitu 235 halaman dengan bahasa Indonesia dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dan gaya tutur yang umumnya dijumpai kini[1].

Konteks kesejarahan naskah yang ditulis oleh Soetjipto ini merupakan sesuatu yang berharga mengingat sedikit sekali orang pada zaman Hindia Belanda yang membuat otobiografi (Budiman, 1992:xx).  Terlebih lagi, teks tersebut adalah yang pertama mengangkat narasi otobiografi homoseksual di Nusantara sebelum era 1980’an,  saat di mana media massa mulai marak mengungkapkan fenomena gay ke ruang publik. Meskipun naskah ini tidak punya hubungan sejarah langsung dengan konsep pembentukan identitas gay dan lesbi di Indonesia, karena baru diterbitkan pada akhir abad XXI, namun kita dapat menjumpai kesepadanan antara dunia Soetjipto dan dunia gay Indonesia masa kini. Karena keterkaitan inilah, misalnya, karya ini menjadi perangkat penting bagi kajian homoseksualitas di Nusantara, seperti  yang telah dilakukan Tom Boellstorff  dalam bukunya The Gay Archipelago, Sexuality and Nation in Indonesia (2005) dan penerjemahannya ke dalam bahasa Inggris oleh Benedict R.O’G. Anderson (2006, 2007).

Soetjipto lahir  pada tahun 1910 dan tinggal di Jawa Timur. Naskah yang ditulisnya ketika ia memasuki usia 20 tahunan ini menuturkan kisah pengalamannya dalam kurun waktu antara tahun 1919 sampai dengan 1927[2].  Soetjipto adalah anak seorang raden yang bekerja sebagai pegawai rendahan di pabrik gula dekat Surabaya. Ayahnya kemudian menikah lagi perempuan lain dan ditangkap atas tuduhan penggelapan. Ayah Soetjipto kemudian menceraikan ibunya, yang kemudian menikah lagi dengan seorang lelaki Madura yang tidak menyukai anak tirinya. Di usianya yang kelimabelas, Soetjipto melarikan diri dari rumah, bukan karena  persoalan seksualitasnya, namun karena konflik keluarga. Sejak itu Soetjipto hidup dalam kemiskinan dan keterasingan, bertahan dengan daya dan kecerdikannya untuk menghadapi  beragam situasi di Jawa Timur pada masa itu. Mengenai homoseksualitas Soetjipto, tidak pernah sekalipun ia menyebut kata “gay” dalam naskah tersebut, di luar tuturannya yang sangat jelas mengenai pengalaman seksnya dengan sesama lelaki. Saya kira selain karena persoalan keterbatasan bahasa, posisi hubungan sejenis dalam konteks masa itu lebih mengacu pada ‘hasrat’ ketimbang sebuah ‘identitas’

***

Lebih jauh tentang seksualitas Soetjipto sebagaimana dikedepankan dengan buku yang kini diterbitkan dengan judul Gay Pilihan Jalan Hidupku, Pengakuan Seorang Priyayi Jawa Zaman Penjajahan Belanda akan saya sampaikan di bagian selanjutnya. Sementara itu  pada bagian ini saya akan  mencoba melengkapi bingkai  peristiwa yang telah disampaikan  dengan ringkas oleh Budiman di bagian pengantar versi terbitan buku yang terbaru. Benedict Anderson (2006: 40-42) menelusuri perjalanan manuskrip  ini sampai pada masa sebelum teks ini menjadi koleksi Perpustakaan Nasional (dahulu Museum Nasional).  Anderson melihat bahwa karya Soetjipto ini ditulis bukan untuk tujuan publikasi ataupun pengakuan, melainkan sebuah tulisan yang dibuat sebagai bahan refleksi pribadi dan hanya untuk dibaca lingkaran terdekat (yang kerap  disebutnya sebagai “pembaca”). Demikian sehingga manuskrip ini ditemukan di tumpukan teks koleksi peneliti dan penerbit kebangsaan Jerman, Hans Overbeck, salah satu orang yang waktu itu juga berada di lingkaran terdekat Soetjipto. Overbeck sendiri meninggal ketika kapal laut yang ia tumpangi bersama warga Jerman di Indonesia lainnya, termasuk pelukis Walter Spies ditenggelamkan pasukan Jepang dalam perjalanannya ke India atas perintah penangkapan Hitler, pada masa pendudukan Jerman di Holland tahun 1940.

Spekulasi yang berkembang di seputar hubungan antara Soetjipto dan Overbeck yang tidak menikah ini adalah mereka sepasang kekasih.Namun seperti juga Soetjipto, Overbeck tidak ikut ditangkap pada peristiwa penangkapan anti-homoseksual di tahun 1938-39, yang mengenai sejumlah ekspatriat seperti pelukis Walter Spies, Balinonologis Roelof Goris,   dan ratusan orang lainnya. Kumpulan koleksi Overbeck yang selama masa hidupnya mengumpulkan beragam karya erotika Jawa dan foto-foto pergelaran tradisional Jawa ini sempat menjadi koleksi di museum Sonobudoyo, Yogyakarta, namun kembali tersebar selama masa penjajahan Jepang.

***

Ada beberapa nilai penting sejarah yang bisa dipetik dari otobiografi Soetjipto yang belajar menulis secara otodidak ini. Pertama adalah observasinya yang mendalam dan jernih tentang apa yang berlangsung di sekitarnya. Refleksi yang ia lakukan melampaui batasan antara kategori yang membedakan antara penjajah dan yang dijajah, di mana ia bisa menemukan kebaikan dan keburukan pada kemanusiaan pada umumnya, tanpa membedakan apakah mereka Muslim, Kristen, Belanda, Madura atau Jawa. Salah satu aspek yang juga menarik untuk diamati di sini adalah juga nyaris tiadanya rujukan pada hal-hal yang  bernuansa gerakan politis atau nasionalisme, meskipun situasi penjajahan jelas hadir dalam keseharian Soetjipto, misalnya dengan diceritakannya latar peristiwa mengenai perayaan naik tahta-nya Ratu Wihelmina pada tahun 1923 di Situbondo.  Kedua, kita juga bisa melihat kesepadanan antara tulisan yang dibuat Sotjipto dengan Dr. Soetomo yang juga menulis Memoir-nya yang ditulis pada usia belasan tahun saja. Dari sini kita bisa membayangkan persoalan khas anak muda pada jelang akhir era kolonialisme, dalam upayanya untuk menjalani kehidupan di tengah berbagai tantangan sosial, budaya, politik  dan ekonomi masa itu. Kedua otobiografi ini sama-sama diakhiri dengan sebuah jawaban tentang jalan hidup mana yang tepat untuk ditempuh oleh masing-masing pelaku. Ini jelas berbeda dengan kecenderungan penulisan otobiografi  para petinggi militer, selebritis, politisi, mantan aktivis dan lainnya yang melulu menuturkan cerita-cerita sukses dalam perjalanan hidup dan karir mereka.

***

Dalam konteks (homo-)seksualitas, Soetjipto memang telah secara gamblang  menyampaikan narasi tentang cinta sejenis dalam beberapa fragmen terpisah dalam keseluruhan naskah, hal ini layaknya bisa menandai bagaimana pengalaman atau subyektivitas dunia penulis sendiri tidak meletakan persoalan seksualitas sebagai satu-satunya pusat di jagad-raya kehidupannya. Tapi untuk menajamkan pembahasan pada isu seksualitas seperti yang mau ditekankan dengan  judul buku versi yang sekarang, kita dapat merunut beberapa peristiwa “penting” yang bisa menjadi petunjuk mengenai bentuk-bentuk subyektivitas lelaki homoseksual di zaman kolonial.

Dari kisah yang disampaikan  “cinta pertama” Soetjipto, misalnya, yaitu seorang anak lelaki yang berusia sedikit lebih tua darinya dan bersekolah berdekatan dengan Soetjipto. Ia bercerita tentang pengalaman di kota asalnya Kediri, di mana ia bertemu dengan kekasih laki-laki pertamanya yaitu seorang “dokter pribumi” yang mengaku hanya bisa tertarik secara seksual kepada sesama jenis. Sekali lagi, di sini belum ditemukan kosa kata yang khusus merujuk pada homoseksualitas. Sementara itu, dari profesi sebagai dokter yang menyimbolkan modernitas dalam kesusastraan Indonesia, bisa mengindikasikan kemungkinan persentuhan kalangan terdidik di Nusantara dengan pengertian homoseksualitas yang dikembangkan ilmu seksologi dan psikiatri Barat yang juga mulai beredar di dunia terjajah. Dari uraian ini, dijelaskan bagaimana si Kekasih dan si Dokter juga merupakan bagian dari suatu komunitas lelaki dengan ketertarikan yang sama, seperti yang disinggung dalam narasi: -“begitu juga teman-temanku. Banyak di antara  mereka yang menyenangi perbuatan ini.” Dalam konteks religiusitas, Soetjipto juga tidak menjalani kehidupannya dengan perasaan berdosa atau bersalah, homoseksualitas bagi Sotejipto adalah bagian dari kerja Tuhan, seperti  yang berulangkali ia rujuk di sepanjang narasi:

“..hidup berarti menuruti kebiasaan. Jika orang tidak terbiasa makan, tidak makan menjadi lapar. Jika orang terbiasa tidur, tidak tidur menjadi mengantuk. Jika orang terbiasa membaca, jika tidak membaca kurang puas. Demikian juga untuk hal yang lain, tidak berbeda. Jika orang terbiasa dengan perempuan, tidak akan bernafsu dengan lelaki. Sekarang aku belum dihinggapi kebiasaan seperti itu. Namun aku merasa senang terhadap lelaki. Buktinya, nafsuku muncul saat pertama melihat kekasihku itu. Karena itu aku harus membiasakan diri dengan lelaki, sebab itulah yang sebaik-baiknya bagiku. Apalagi bisa kupuaskan sendiri. Dengan demikian, Tuhan memang pemurah kepada mahluknya. Semua keburukan di dunia ini telah diberinya senjata, agar menjadi baik.” (Budiman, 2008: 32)

Soetjipto memetakan dunia (homo)sosial-nya menjadi (1) lelaki yang menyukai perempuan, (2) lelaki yang menyukai laki-laki (dan kadang berhubungan seks dengan laki-laki lain demi uang), (3) lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki demi uang, namun sebenarnya menyukai perempuan,  dan (4) lelaki yang menyukai laki-laki (dan kadang berhubungan seks dengan laki-laki lain demi uang) dan bertingkah seperti perempuan. Diterjemahkan ke dalam kategori kontemporer maka jenis pertama adalah mereka yang disebut heteroseksual; kedua, gay, dan keempat waria. Namun peta yang digambarkan Soetjipto di sini memang tampak belum mengangkat aspek perempuan sebagai mahluk seksual.

Dalam penelitiannya, Boellstorff (2005: 124) menemukan bahwa, -berbeda dengan gay di Barat,  kebanyakan gay kontemporer di Indonesia melihat pernikahan heteroseksual merupakan sebuah kewajiban sosial yang tidak bisa tidak dipenuhi. Lain halnya dengan pemahaman Soetjipto tentang perkawinan,  menurutnya lelaki yang menyukai lelaki tidak akan menikah dengan perempuan. Dalam isu pernikahan ini, sekilas kita bisa melihat kemiripan antara pemahaman gay di Barat dengan Soetjipto, namun seperti yang disampaikan dalam narasi Soetjipto berikut ini, ternyata kemiripan ini bukan sekedar hasil bentukan dari proses pem-Barat-an kolonialisme kepada Soetjipto si ”kacung pribumi”,  sebagaimana klaim yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah konstruk impor dari Barat dan bukan bagian dari ”budaya Indonesia.” Di kota Surabaya tahun 1926, Soetjipto termenung setelah barusan saja dibayar untuk tidur bersama seorang Belanda:

Aku duduk di samping jembatan itu, sembari memikirkan peristiwa yang baru terjadi. Semula aku berpendapat, mokal sekali orang Belanda punya kehendak seperti itu… dia berkelainan kebangsaan denganku. Perkiraanku ternyata berbalik. Inilah yang kuherankan.”

Dalam bayangan Soetjipto sebelum bertemu dengan lelaki Belanda tersebut, orang Barat tidak punya hasrat sesama jenis.  Bahkan setelah ia tahu  bahwa hasrat tersebut juga hadir di kalangan Barat, Soetjipto masih beranggapan bahwa orang Barat hanya tertarik  pada komodifikasi seks dan tidak mampu memiliki mengembangkan perasaan kasih sayang seperti yang dimiliki Soetjipto dengan lelaki Jawa lainnya. Soetjipto memahami homoseksualitas di tahun 1920an sebagai sesuatu yang lokal sekaligus tidak sepadan dengan ide perkawinan. Sekalipun mirip, pemahaman yang terakhir ini ini tidak sedang diacunya dari konsep gay di Barat, karena baginya Barat adalah sesuatu yang liyan.  Dan pada saat yang bersamaan, isu penolakan pernikahan heteroseksual ini ini justru lebih dekat pada konsep Barat mengenai gay jika dibandingkan dengan pemahaman gay Indonesia pada awal abad XXI yang  melihat perkawinan sebagai hal normatif.

***

Berbagai pengamatan di atas setidaknya dapat menunjukkan bagaimana praktek dan homoseksualitas di Indonesia tidak menempuh evolusi linear dari bentuk-nya di tahun 1920’an menjadi seperti sekarang. Kita juga bisa menimbang bagaimana  alur pengertian tentang homoseksualitas lokal dan global (baca:Barat) bisa mengalami persinggungan sekaligus perbedaan yang signifikan, sehingga persoalan globalisasi nilai-nilai, perilaku dan budaya juga menjadi layak untuk dipertanyakan kembali. Tulisan ini  juga mengajak kita untuk menarik jarak kembali pada perdebatan tentang hakikat homoseksualitas sebagai sesuatu yang alami atau dibentuk secara sosial (konstruk). Sebagai sebuah dokumentasi sejarah, karya suntingan Amen Budiman ini dapat memberi alternatif pemaknaan yang dibangun di seputar persoalan homoseksualitas kontemporer, seperti soal diskriminasi, stigma dan gaya hidup,  perkembangan komunitas gay Indonesia ke arah perjuangan identitas dan  gerakan sosial, sampai dengan tarik-menarik isu keberagaman, ke-beragamaan dan nasionalisme yang semakin marak di Indonesia belakangan.

Pada masa itu, setidaknya dalam konteks kehidupan seorang lelaki gay, priyayi, terbuang, seperti Soetjipto,  isu mengenai toleransi dan penerimaan terhadap seksualitas jelas bukan soal utama, karena memang tidak pernah menjadi hal yang cukup genting untuk sampai menciptakan panik moral dan ideologi bangsa (berikut dengan turunan kategorinya yang mau mengkotakkan homoseksualitas sebagai penyimpangan seksual, penyakit sosial, dst.).  Homoseksualitas di sini semata-mata hadir sebagai ragam bentuk seksualitas yang dimungkinkan dari subyektivitas gender yang juga sama beragamnya (tidak hanya lelaki dan perempuan, tapi juga waria dan tomboi).

Kalau ada pelajaran yang bisa dipetik suatu bangsa dari sejarahnya, maka kisah Soetjipto bisa jadi bahan yang sangat berharga. Tapi saya harus menunda optimisme tersebut, karena sekarang,  ketika konon demokratisasi di Indonesia semakin menjadi, justru muncul produk-produk hukum negara yang  mau mengatur-(atur) seksualitas warganya,    baik di level nasional seperti dengan disahkannya Undang-undang Pornografi atau peraturan-peraturan daerah yang diberlakukan di Palembang atau Tangerang, Banten. Sayangnya kini, tampaknya sejarah belum mampu meluruskan “penyimpangan” pikir terhadap homoseksualitas.

Referensi

– Anderson, Benedict R.O’G. (ed. & penerjemah),“First Love: the Opening of Soetjipto’s ‘Djalan Sampoerna’”, Jurnal Indonesia 82, Oktober 2006, hal. 39-74

– Anderson, Benedict R.O’G. (ed.& penerjemah), “Into the Whirlpool: the Second Part of Soetjipto’s ‘Djalan Sampoerna’”, Jurnal Indonesia 84, Oktober 2007. Hal. 57-125.

– Boellstorff, Tom. The Gay Archipelago: Sexuality and the Nation in Indonesia, Princeton University Press, Princeton. 2005

– Budiman, Amen (ed.), Jalan Hidupku: Autobiografi Seorang Gay Priyayi Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Penerbit Apresiasi Gay Jakarta. 1992.

– Budiman, Amen (ed.), Gay Pilihan Jalan Hidupku: Pengakuan Seorang Gay Priyayi Jawa Zaman Penjajahan Belanda. Semarang: Penerbit Mimbar. 2005

– Soetjipto, Djalan Sampoerna, 1928 (?)


Lampiran

Catatan Penulis:

Salinan asli “Djalan Sampoerna” yang saya kutipkan di makalah ini disusun tanpa judul bab seperti versinya yang sekarang.  Selain karena sulitnya perbedaan ejaan, bahasa yang digunakan juga cenderung sulit dipahami, di sana-sini  tampak tulisan yang sudah terhapus karena usia (?) Ada beberapa tulisan tangan di halaman kertas yang sebagian besar sudah melapuk tersebut, susunan tulisan pun kadang tidak beraturan, dengan penggunaan tambahan tanda baca yang tampaknya disesuaikan dengan ‘mood’ dan estetika pribadi Soetjipto dalam penulisan naskah tersebut. Di sini akan saya kutipkan satu halaman yang sempat saya catat dalam satu kesempatan mengunjungi Perpustakaan Nasional, sebagai pembanding lihat buku Budiman (2008) halaman 23-24. Adapun cara pengutipan  hanya mengacu pada struktur penulisan, termasuk tanda baca, tanpa menyertakan susunan aslinya seperti yang tercetak pada naskah asli.

“Soeda pernahkah engkau tidoer dengan Prempoewan?” Tanjakoe.”Beloen sekali,’ Saoetnja dengan senjoem, beloen lagi lama maka ia laloe berkata lagi, katanja:”Dengarkan saja maoe kasih tjaritera padamoe! Sekarang engkau telah mendjadi temankoe, dari itoe engkau tijada oesah mengandoeng maloe, katanja ”Doeloe tempo saja tinggal di Kediri, kira sebesar engkau begini ia ada mengandoeng tjinta kepadakoe, ia mendjabat pekerdjaan Dokter Bangsa Boemi Poetra djoega. Demikijan djoega saja belon mengerti seperti engkau demikijan. Hanja saja poenja pikiran tijada lain jang bisa mempoewaskan Napsoe itoe, ialah Prempoewan sadja. Maka setelah berkenalan dengan saja maka ia laloe banjak jang diomongken dengan saja, maka laloe lama-kelamaan membilangkan bahwa Napsoe itoe kena dipoewasken dengan laki sama laki. Maka setelah itoe ia bertjampoergaoel dengan dakoe (bertjinta-tjintaan) maka ia laloe di pindah ke tempat lain. Maka sepeninggalnja ia, saja djoega laloe terdjadi seperti ianja djoega, jang saja laole gemar pada anak-anak jang bagoes-bagoes.

Maka itoe saja sampai djoega lestari mempoenjai teman jang baik, ia djoega sampai lestari saja ditinggalkan ke mari. Begitoe djoega saja poenja sahabat-sahabat jang kena di bilang banjak jang soeka demikijan, jang dahoeloenja saja tida mengira ada perboewatan jang demikijan ini.

“Bagaimanakah orang memoewaskan napsoe itoe?tanja koe jang dengan tersenjoem. Maka ia tida menjaoet apa-apa, hanja sadja dengan segera mentjioem pipikoe dengan tanganja mengeloes-eloes toeboehkoe. Ketika itoe djoega tijada koewatlah saja menahanja Napsoekoe. Maka saja sampai mendjadi loepa, maka itoe saja laloe membalesnja mentjioem djoega kepadanja. Inilah jang lama-lama koetoenggoe-toenggoe kata dalem hatikoe. Setelah jang demikijan itoe ia laloe perlahan memegang pahakoe dan perlahan-lahan memegang saroengkoe, sampai achirnja tangannja mengenai…………..koe. “Rupanja engkau soeka padakoe, Adikoe?” Katanja sambil di iring tjioemannja. Mereka itoe Napsoekoe soeda tijada kena koeseboetkan lagi, apa bila tijada koewat-koewat saja menahan nistjaja koegigit sekoewat-koewatnja bibirnja itoe dari sebab telah rasa tijada tahan Napsoenja makalah ia laloe perlahan-lahan menoempang di dadakoe. Inilah jang sekarang mendjadi bidji matakoe, katanja, djoega sambil gemetar toeboehnja,naikin dadakoe itoe. Demikijan ia jang sampai achirnja mempoewaskan Napsoenja di atas dadakoe jang dengan tijada berentinja mentjioemi pipikoe……………………………………………….

Ia laloe memoewaskan Napsoekoe dengan tanganja sadja.

(dikutip dari Djalan Sampoerna, Soetjipto, hal. 23-24)


[1] Terlampir adalah kutipan naskah asli dari “Djalan Sampoerna” yang sempat saya catat. Sebagai pembanding, lihat buku Amen Budiman lihat halaman 23-24.

[2] Mengenai kapan tepatnya naskah ini ditulis masih perlu dikaji kembali. Dari naskah asli yang saya lihat disimpan di Perpustakaan Nasional, tertulis tahun 1928 sebagai tahun tulisan ini dibuat. Sedangkan B.R.O’G Anderson menjelaskan bahwa dari catatan pensil di naskah asli dikatakan bahwa Soetjipto akhirnya berdamai dengan ibunya bulan Januari 1933, maka kemungkinan paling besar manuskrip ini ditulis tahun 1932, ketika ia berusia 22 tahun.