Penciptaan Rumah Warga Kampung Pecinan Tambak Bayan Surabaya oleh Isna Cahya

Penelitian ini merupakan hasil berbagi cerita baik secara personal maupun kolektif bersama beberapa warga Tambak Bayan (Bu Oei, Papa Ju, Om Seno, dan Mas Gepeng, keluarga Bu Oei dan Papa Ju) serta beberapa teman dari Institut Seni Tambak Bayan. Mereka bercerita bagaimana keadaan kampung saat ini yang menghadapi ancaman eksistensi karena bersengketa dengan pihak hotel V3 sejak awal tahun 2000. Beberapa warga yang yang bertahan adalah warga yang tinggal di petak-petak rumah yang menempel dengan bangunan induk pada Kampung Pecinan ini. Asal mula hadirnya Komunitas ini berawal dari, beberapa orang datang bermigrasi dari Negeri China ke Indonesia. Kemudian tahun 1930 beberapa darinya menempati kampung ini. Beberapa orang yang datang ke Tambak Bayan menempati Bangunan Kolonial yang memiliki selasar di sampingnya, kemudian dibangun petak-petak dengan ukuran seragam, 4 x 5 meter. Selain di petak-petak rumah ada keluarga yang tinggal didalam Bangunan Induk. Pada saat itu warga membayar uang sewa ke keluarga tersebut sampai tahun 2000-an. Pemahaman sejarah permukiman Kampung Pecinan ini terus berkembang, sebelumnya ada yang mengatakan warga tinggal di petak-petak bekas istal kuda, tetapi penemuan terbaru mengatakan bahwa istal kuda berada di bangunan yang sekarang menjadi ruko di gang sebelah Bangunan Kolonial (Bangunan Induk Permukiman Kampung Pecinan Tambak Bayan).

Sumber: Arsip Institut Seni Tambak Bayan, ilustrasi pribadi

 

Sumber: Arsip Institut Seni Tambak Bayan, ilustrasi pribadi

 

Rumah Bu Oei dan Papa Ju

1960-an 

Keluarga Bu Oei dan Papa Ju bermigrasi dari Negeri China ke Indonesia pada tahun 1918. Saat itu Bu Oei dan Papa Ju tidak mengetahui keluarganya menetap dimana saat sampai di Indonesia. Tetapi pada tahun 1930, keluarga mereka menempati Tambak Bayan bersama dengan warga perantauan yang lain. Saat mayoritas warga menempati petak 4 x 5 meter, Keluarga Bu Oei dan Papa Ju serta 1 keluarga lain mendapatkan petak yang lebih besar, berukuran 5 x 10 meter. Petak yang besar tersebut terletak menempel dengan Bangunan Induk.

Pada Tahun 1960an ada anjuran untuk warga yang memiliki sejarah keluarga dari Negeri China untuk kembali ke China. Keluarga Bu Oei dan Papa Ju sudah berkemas pada saat itu, tetapi tidak jadi berangkat. Bu Oei mengatakan ada kemungkinan armada kapal yang saat itu digunakan tidak muat. 

Keluarga Bu Oei dan Papa Ju memiliki 11 anggota keluarga yang menempati rumah petak di Tambak Bayan, termasuk Bu Oei dan Papa Ju yang lahir di tahun 1968 dan 1969. Berikut adalah 11 anggota keluarga Bu Oei dan Papa Ju yang tinggal di Rumah Petak Tambak Bayan pada tahun 1960an:

  1. Kakek (Liong Han)
  2. Nenek (Ie Djie Bwee)
  3. Papa (Liong Nam San)
  4. Mama (Ko Swie Hwan)
  5. Anak (Liong Kem Jep, lahir tahun 1964)
  6. Anak (Liong Wenny, lahir tahun 1966)
  7. Anak (Liong Kem Oei, lahir tahun 1968)
  8. Anak (Gunadi Liong, lahir tahun 1969)
  9. Anak (Liong Kem Tjong, lahir tahun 1971)
  10. Anak (Liong Pau Tju, lahir tahun 1973)
  11. Tante (Liang Mie Jan, lahir tahun 1944)

Rumah saat itu terbagi menjadi 2 bagian, bagian depan digunakan untuk Ruang Serbaguna (untuk makan, kumpul, dan kegiatan lain) dan bagian belakang digunakan untuk Ruang Kerja (Produksi Anyaman Besi). Bagian atas Ruang Serbaguna terdapat lantai tambahan yang biasa disebut loteng untuk seluruh anggota keluarga tidur. Bagian depan rumah terdapat tangga yang menjadi satu kesatuan dengan Bangunan Induk. Sisi terluar tangga dibuat dapur yang menggunakan penyekat kayu, sedangkan seberang petak rumah, terdapat kamar mandi berdinding kayu.

1985

Pada tahun 1976, Kakek meninggal sehingga dihadirkan meja sembahyang untuk dengan foto Kakek. Tetapi setelah itu, pada periode ini terdapat salah satu anak yang menikah, yaitu Liong Wenny dengan Herman Minardi. Sehingga terdapat perubahan ruang pada rumah mereka. Penambahan loteng di atas Ruang Kerja menjadi tempat tidur pasangan baru tersebut. Pada periode ini jumlh anggota keluarga yang menempati rumah adalah 11 orang:

  1. Nenek (Ie Djie Bwee)
  2. Papa (Liong Nam San)
  3. Mama (Ko Swie Hwan)
  4. Anak (Liong Kem Jep, lahir tahun 1964)
  5. Anak (Liong Wenny, lahir tahun 1966)
  6. Pasangan Liong Wenny (Herman Minardi)
  7. Anak (Liong Kem Oei, lahir tahun 1968)
  8. Anak (Gunadi Liong, lahir tahun 1969)
  9. Anak (Liong Kem Tjong, lahir tahun 1971)
  10. Anak (Liong Pau Tju, lahir tahun 1973)
  11. Tante (Liang Mie Jan, lahir tahun 1944)

Aktivitas sehari-hari yang dilakukan keluarga Bu Oei dan Papa Ju seperti Warga Tambak Bayan pada umumnya, memiliki usaha rumah. Jika mayoritas usaha warga adalah pengerajin kayu, Mama memiliki usaha catering sedangkan Papa memiliki usaha anyaman besi. Karena rumah menjadi tempat usaha maka penerangan yang digunakan adalah lampu putih. Listrik yang digunakan tiap petak rumah membayar secara mandiri tiap rumah. Tahun 1987, dapur dan kamar mandi yang sebelumnya menggunakan sekat kayu, dirubah dengan tembok. 

 

1996

Tahun 1986, nenek meninggal dunia, dan pada tiap tahun 1987, 1991, dan 1995 lahir 1 bayi di tiap tahun tersebut. Pembagian tempat tidur pada saat itu yakni 8 orang tidur di loteng depan, sedangkan 5 orang tidur di loteng belakang (termasuk 3 cucu). Jumlah anggota keluarga yang menghuni rumah tersebut adalah 13 orang:

  1. Papa (Liong Nam San)
  2. Mama (Ko Swie Hwan)
  3. Anak (Liong Kem Jep, lahir tahun 1964)
  4. Anak (Liong Wenny, lahir tahun 1966)
  5. Pasangan Liong Wenny (Herman Minardi)
  6. Anak (Liong Kem Oei, lahir tahun 1968)
  7. Anak (Gunadi Liong, lahir tahun 1969)
  8. Anak (Liong Kem Tjong, lahir tahun 1971)
  9. Anak (Liong Pau Tju, lahir tahun 1973)
  10. Tante (Liang Mie Jan, lahir tahun 1944)
  11. Cucu (Meliana Minardi, lahir tahun 1987)
  12. Cucu (Jefta Minardi, lahir tahun 1991)
  13. Cucu (Sandra Minardi, lahir tahun 1995)

Usaha catering Mama berjalan hingga tahun 2014, Bu Oei mulai membantu di usaha catering sejak tahun 1996 setelah sebelumnya bekerja ikut orang. Usaha catering ini tidak hanya melibatkan keluarga Bu Oei, tetapi Mama dari Om Seno juga ikut terlibat dalam usaha catering ini. Usaha anyaman besi yang dijalankan Papa masih berlangsung, tetapi tidak lagi di produksi di rumah. Produksi anyaman besi pindah ke rumah kontrakan yang disewa oleh Papa. Berbicara mengenai usaha rumahan, pada saat itu Warga Tambak Bayan terkenal akan pengerajin kayu, tetapi saat ini sudah tidak banyak lagi warga yang menjadi pengerajin kayu karena salah satu penyebabnya adalah tidak ada penerus dan alat-alat digunakan masih manual. Selain pengerajin kayu, terdapat warga yang terkenal sebagai penjahit bahkan sampai didatangi pejabat untuk menjahitkan bajunya. Ada juga warga yang membuat arak beras. Arak beras ini laris pada saat itu, mayoritas warga membeli arak beras tersebut untuk sembahyang.Saat Kerusuhan Nasional Tahun 1998, Kampung Pecinan Tambak Bayan tidak merasakan kerusuhan tersebut. Hal ini dikarenakan warga etnis lain, Jawa-Madura, melindungi warga Etnis China. Hubungan antar etnis ini sudah sangat kental sejak lama, bahkan beberapa warga Etnis Jawa bisa berbahasa China. Sampai saat ini hubungan antar etnis di kampung ini masih sangat kental.

2015

Sejak tidak digunakan sebagai tempat produksi anyaman besi, ruangan bagian belakang diubah menjadi Ruang Kumpul. Dengan perubahan fungsi tersebut, keramik yang digunakan diubah yang awalnya keramik merah (merupakan keramik asli dari Bangunan Induk) menjadi keramik baru berwarna hijau. Selain menjadi Ruang Kumpul, fungsi ruang tersebut juga menjadi Ruang Tidur. Hadirnya Ruang Tidur pada lantai bawah karena pada tahun 2000an Papa sakit. Setelah itu terdapat dinamika perubahan anggota keluarga sehingga jumlah anggota yang menempati rumah adalah 7 orang:

  1. Papa (Liong Nam San)
  2. Mama (Ko Swie Hwan)
  3. Anak (Liong Kem Jep, lahir tahun 1964)
  4. Anak (Liong Kem Oei, lahir tahun 1968)
  5. Anak (Gunadi Liong, lahir tahun 1969)
  6. Tante (Liang Mie Jan, lahir tahun 1944)
  7. Cucu (Anak Liong Kem Jep, Renaldo Darius Wiharja)

Saat ini Bu Oei hanya menerima pesanan untuk makanan, sedangkan Papa Ju meneruskan usaha Papa menjadi pengerajin anyaman besi menggunakan rumah induk sebagai tempat produksi sejak tahun 2008.

 

Rumah Om Seno

1970

Keluarga Om Seno menempati petak rumah berukuran 4 x 5 meter sejak tahun 1930. Saat itu yang menempati rumah adalah:

  1. Kakek (Tjiang Ju)
  2. Nenek (Yu Djui)
  3. Saudara Kakek (Giok Kung, di Malang)
  4. Saudara Kakek (Asok, Wafat Muda)
  5. Papa (Awing, meninggal umur 47 tahun 1967)
  6. Mama (Wak Min)
  7. Saudara (Thai Khu)
  8. Saudara (Awing)
  9. Saudara (Asok Bo)
  10. Saudara (Ako Ajik, di Malang)
  11. Saudara (Ako Yek Moi)
  12. Saudara (“Sok” Djiang)

Mereka tinggal di rumah dengan loteng belakang yang berukuran separuh dari ruangan bawah. Dengan berjalannya waktu hingga tahun 1970, beberapa saudara meninggalkan Tambak Bayan karena menikah. Sehingga yang menempati rumah tersebut hanya 4 orang:

  1. Nenek (Yu Djui)
  2. Mama (Wak Min)
  3. Saudara (Thai Khu)
  4. Anak Thai Khu (Yanuar Subono)

Pembagian tempat tidur saat itu yaitu nenek berada di ranjang bawah, sedangkan mama dan 2 orang lain tidur di loteng beralaskan kasur gelar. Pada tahun 1970 ini, Om Seno tidak menempati Tambak Bayan, tapi tinggal di Kapas Krampung untuk bersekolah bersama pamannya. 

1980

Penerangan yang digunakan pada petak-petak rumah di Tambak Bayan sebelum tahun 1980 merupakan 1 lampu kuning yang dibagi menjadi 2 petak rumah. Menurut Om Seno pada saat itu suasana rumah dan kampung memiliki kesan seram, sehingga beberapa warga hanya beraktivitas sampai maghrib. Tetapi sejak tahun 1980, tiap rumah sudah memiliki lampu sendiri-sendiri sesuai kebutuhan.

Rumah Om Seno pada periode ini hanya ditempati oleh Mama dan Nenek. Saat itu Mama ikut bekerja di catering Mama Bu Oei. Selain ikut catering, Mama juga sudah biasa memasak beberapa masakan yang dipasarkan sendiri, bahkan Om Seno juga diajarkan memasak beberapa jenis masakan. 

1990

Pada akhir 1980 Kakak Om Seno (Urip Atmodjo) dan Om Seno (Suseno Karja) pindah ke Tambak Bayan tetapi Kakak Om Seno tidak lama tinggal di Tambak Bayan karena ikut bekerja dengan saudaranya ke Malang, sedangkan Om Seno kerja ke Bali pada tahun 1989 selama setahun. Setelah kerja di Bali, Om Seno kembali ke Tambak Bayan. Pada saat itu nenek sedang sakit, sehingga Om Seno juga ikut merawat nenek. Bahkan beberapa kali menggendong nenek untuk berjemur didepan menggunakan kursi dalam rumah yang di angkat kedepan rumah. Pada saat itu matahari masih bisa masuh sampai kedalam rumah, tetapi saat ini beberapa warga menutup depan rumah mereka dengan naungan yang menghalangi matahari masuk.

Nenek meninggal pada akhir 1990, pada saat nenek meninggal salah satu saudara Om Seno meminta untuk merawat jenazah nenek dan kakek, sedangkan jenazah Papa di kremasi. Hal itu menjadikan meja sembahyang gantung yang sebelumnya ada di rumah Om Seno tidak ada lagi, foto dari Kakek, Nenek, dan Papa masih dipajang di tembok rumah Om Seno. Setalah Meja Sembahyang Gantung tidak ada, Om Seno biasanya menggunakan meja yang terkadang pinjam ke Yayasan untuk sembahyang. Makanan khas yang sering dibuat Om Seno saat sembahyang adalah Kuah Fucuk (isi ceker ayam, kacang tanah, tahu kering, tahu halus).

 

1991

Pada tahun 1991, rumah Om Seno mengalami perubahan pemindahan tangga yang awalnya di tengah menjadi di pojok kanan rumah. Saat itu yang tinggal di rumah hanya Om Seno dan Mama. Mama tidur dibawah, di ranjang yang dahulu digunakan Nenek. Sedangkan Om Seno tidur di loteng dengan menggunakan kasur berbahan spons.Pada tahun ini listrik yang awalnya berukuran 450 Kwh menjadi 900 Kwh karena pada saat itu sudah ada penambahan barang elektronik seperti kulkas dan TV. 

Tahun 2006, Mama Om Seno meninggal dunia. Om Seno merawat ibunya sejak sakit di rumah sampai harus dibawa ke rumah sakit. Pada hari peringatan sembahyang Rebutan, Om Seno pulang ke rumah dari rumah sakit untuk menyipakan sembahyang, tetapi pada hari yang sama ibu Om Seno meninggal dunia.

 

2007

Selepas meninggalnya Mama Om Seno, ranjang dibawah di bongkar agar memberi ruangan yang lebih luas. Sedangkan kasur kapuk yang berada di bawah diganti dengan kasur spons yang sebelumnya berada di atas. Om Seno tinggal di rumah tersebut sendirian sampai tahun 2020. Keponakan Om Seno tinggal di rumah tersebut dan menempati loteng atas untuk tidur. Saat ini, alas tidur di loteng atas adalah karpet. Dengan berkembangnya waktu Om Seno secara swadaya mengganti lantai bagian Ruang Serbaguna dengan keramik, yang sebelumnya merupakan plaster semen. Hingga saat ini yang tinggal di rumah adalah Keponakan Om Seno yang bekerja di Pertamina dan Om Seno yang aktif berkegiatan di Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat.