Sesi Bercerita: Petak Studi Arsitektur Ruang Kota

Tangkapan Layar Sesi Bercerita Eliesta

 

Tulisan ini adalah catatan dari sesi bercerita para anggota petak studi “Arsitektur Ruang Kota” yang terjadi pada Jumat, 28 Juni 2024. Petak studi ini lahir dari aktivitas anggota Sekolah Salah Didik yang berlangsung secara online. Para anggota petak studi adalah Eliesta Handitya, Isna Cahya, Lutfiah Setyo, Kurnia Ngayuga Wibowo, dan Salma Rizkya. Petak studi “Arsitektur Ruang Kota” muncul sebagai ruang untuk mengeksplorasi beragam penciptaan ruang kota sebagai cara untuk mengembalikan ruang identitas. Beberapa konsep kunci yang melandasi petak ini adalah gagasan perawatan yang berasal dari ruang-ruang pinggiran. Jalinan antara perawatan dan praktik solidaritas melahirkan produksi narasi baru dan pengetahuan kampung kota. Selain “Arsitektur Ruang Kota”, ada dua petak studi lain yang terbentuk yaitu “Praktik Perawatan lewat Penulisan Narasi Alternatif” dan “Pertemanan sebagai Jaringan Perawatan dan Keamanan Informal.” Tulisan ini hanya berfokus pada sesi bercerita yang berlangsung dalam petak studi “Arsitektur Ruang Kota” saja.

Eliesta Handitya bercerita tentang proyek “Rumah-rumah yang mengintip: Memori resiliensi yang diceritakan oleh rumah-rumah yang memangku penghuninya.” Cerita Eliesta bergerak dari rumah-rumah yang didiami oleh keluarga Liesta, dari satu lokasi ke lokasi lainnya di Yogyakarta. Ikut bergerak dan bertransformasi bersama perpindahan rumah ini adalah memori pengalaman kekerasan kolektif yang disimpan oleh para penghuni rumah. Proyek ini menghasilkan sejarah hidup yang berakar pada proses pengarsipan dan upaya pemulihan kolektif. Perpindahan dari satu rumah ke rumah lain terbaca sebagai upaya untuk mencari ruang aman. Dalam proyek ini, arsitektur tidak dikerangkai oleh struktur ruang dan bangunan yang bersifat fisik, melainkan pembentukan ruang-ruang non-fisik yang juga mendorong kapasitas penghuninya untuk mempraktikan perawatan satu sama lain. Perawatan bergerak ulang-alik dari dałam tubuh ke luar, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini juga yang membuat Eliesta juga tertarik untuk mengeksplorasi cerita-cerita, mimpi dan makanan. Ketiga elemen ini dianggap sebagai medium untuk menjembatani proses ulang-alik tersebut. Dalam perjalanannya, proyek ini mungkin akan menemukan medium lain yang menjadi jembatan dan mampu memproduksi arsip baru.

Tangkapan Layar Sesi Bercerita Eliesta

 

Tangkapan Layar Sesi Bercerita Eliesta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Isna Cahya bercerita tentang proses risetnya di kampung Tambak Bayan di Surabaya. Kampung Tambak Bayan adalah kampung yang terus menerus mengalami konflik akibat ketidakjelasan status kepemilikan dan sengketa tanah yang berkepanjangan. Tulisan Rangga Prasetya Aji Widodo di Proyek Multatuli berjudul “Melawan dengan Seni: Siasat Wisata Kampung Pecinan Tambak Bayan demi Mencegah Perampasan Lahan” secara ringkas memberikan sejarah konflik tanah sebagai berikut “Pada 1965, pasukan militer bersenjata merampas tanah seluas 3.800 meter persegi milik istri meneer Belanda yang dipasrahkan kepada komunitas Tionghoa untuk dijaga dan dikelola. Komunitas Tionghoa dipaksa membuat surat tanah atas nama perampas. Tak berapa lama, militer diduga menjual aset-aset Tambak Bayan ke swasta. Memicu konflik berkepanjangan yang menghantui warga kampung Pecinan Tambak Bayan hingga sekarang.”

 

Tangkapan Layar Sesi Isna
Tangkapan Layar Sesi Isna

Isna melanjutkan proses riset yang dilakukannya saat ikut berproses bersama Sekolah Salah Didik di periode sebelumnya yang berfokus pada “Kerja dan Keluarga.” Isna melanjutkan pengamatannya tentang proses bagaimana para keluarga yang tinggal di area Kampung Tambak Bayan selalu membentuk strategi untuk mengatur ulang rancangan petak ruang yang dihuninya supaya tetap bisa mengakomodasi kebutuhan semua orang.

Aktivitas merancang ulang ruang seperti lepas dari persoalan desain ruang, tapi dipusatkan lebih untuk membuat keterbatasan ruang bisa tetap menjadi ruang dimana semua orang bisa bernapas lega dan menjalankan hidup seperti biasa. Hal ini juga sejalan dengan bagaimana penduduk Kampung Tambak Bayan secara berkelompok juga harus mengeluarkan strategi kreatif untuk berhadapan dengan pemilik kekuasaan selalu bekerja untuk berhadapan dengan pemilik kekuasaan, demi menyelamatkan lahan hidup. Tambak Bayan sudah menjadi situs perjuangan kolektif yang juga dikerjakan bersama banyak para seniman dan aktivis penggerak komunitas.

Tangkapan Layar Sesi Yuga

Kurnia Ngayuga Wibowo (Yuga) bercerita tentang ‘Situs Ziarah sebagai Bengkel Psikologis Masyarakat: Studi Kasus Kompleks Ziarah Sunan Gunung Jati” di Cirebon. Proyek penelitian Yuga memunculkan beragam dimensi perawatan yang berakal dari praktik tirakat dan berziarah ke makam Sunan. Gunung Jati. Bagi sebagian orang,  tirakat berfungsi sebagai medium untuk menenangkan diri. Ia juga berguna sebagai medium afirmasi pembentukan masa depan lewat doa-doa yang aktif dipanjatkan saat tirakat dan ziarah. Dalam praktik sehari-hari pengelolaan tanah ziarah juga membuka peluang untuk mengelola lahan ekonomi alternatif warga.

Aktivitas ekonomi alternatif ini berawal dari mulai kesempatan menjual beraneka suvenir, mengelola lahan parkir, dan rombongan peziarah. Lokasi ziarah juga menjadi area bagi para peminta-minta (pengemis) untuk meminta sedekah dari para peziarah. Makna perawatan dalam proyek Yuga terjalin dari perasaan kenyamanan psikologis yang didapat dari melakukan laku ziarah dan peluang keberlangsungan ekonomi yang diperoleh dari menghidupi lahan ziarah.

Tangkapan Layar Sesi Yuga

 

Tangkapan Layar Sesi Yuga

 

Tangkapan Layar Sesi Yuga