Bahasa Tubuh sebagai Alternatif Jalan Menuju Spekulasi Penerjemahan yang Lain

Tersesat dalam penerjemahan seringkali terjadi jika berada di wilayah yang tidak menggunakan bahasa ibu. Kebingungan, keraguan dan spekulasi penerjemahan tidak akan terelakkan. Saya mencoba untuk membuka pemaknaan terhadap bahasa untuk lebih luas lagi, tidak lagi terpatok kepada bahasa verbal yang dianggap menjembatani upaya komunikasi sesama manusia melainkan memasukkan bahasa tubuh sebagai jembatan lainnya yang mampu memberi alternatif spekulasi terjemahan dalam komunikasi. Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari pengalaman wawancara secara casual dalam perjalanan penelitian di Phnom Penh.

Melakukan perjalanan penelitian lapangan selama dua minggu dan persiapan yang kurang dari lima bulan, tidak cukup bagi kami untuk mempersiapkan diri menguasai bahasa lokal yaitu Khmer. Namun pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bisa pengalaman tersesat dalam penerjemahan dianggap sebagai proses pertukaran pengetahuan tanpa harus menganggap salah satu bahasa sebagai penyebab kesesatan atau kebingunan­–karena jika iya maka secara tidak langsung akan menganggap bahwa bahasa tertentu sebagai dominasi kuasa dalam praktik komunikasi sehari-hari?

Pertemuan dengan salah satu pengajar bahasa Khmer di Tiny Toones, membuat saya mulai memikirkan tentang posisi bahasa sebagai politik keseharian, terutama dalam perjalanan penelitian ini. Ia tidak berbahasa Inggris dan saya tidak berbahasa Khmer. Kami duduk bersama di suatu sore kira-kira pukul 15.00 waktu setempat ketika para murid Tiny Toones sedang beristirahat. Saya menyapanya terlebih dahulu dan memperkenalkan tentang diri saya. Ia menyebutkan namanya dan kami saling melempar senyuman. Rasa penasaran saya untuk mengenalnya lebih lanjut begitu besar. Hingga saya lempar pertanyaan basa basi selanjutnya, yaitu tentang mata pelajaran apa yang ia ajar (saya berbicara dalam bahasa Inggris).

Kebingungan kami dimulai dari pertanyaan pertama yang saya lempar. Ia membalas dengan senyuman. Saya menangkap bahwa ini adalah tanda agar saya harus memperjelas pertanyaan. Saya sari kan kalimat pertanyaan menjadi dua kalimat yaitu “Khmer” dan “in classroom”. Lalu ia membalas “yes”. Setelah pertanyaan pertama berhasil kami selesaikan, ia berbalik tanya kepada saya tentang apa yang saya lakukan di Tiny Toones dengan menggunakan tiga kata yaitu “study in Tiny Toones? What?” dengan yakin saya membalasnya dengan “how you learn in here” dan ia tersenyum menandakan bahwa ia setuju dan tidak keberatan tentang keberadaan saya dengan membawa percakapan yang membingungkan ini. Saya menjawabnya disertasi gestur seperti menulis dan menunjuk ke bawah–dengan maksud belajar di sini.

Permainan untuk membuat urutan berdasarkan tinggi badan dari keseluruhan murid di Tiny Toones
Permainan untuk membuat urutan berdasarkan tinggi badan dari keseluruhan murid di Tiny Toones.
Sandal-sandal para murid Tiny Toones yang dilepas sebelum masuk kelas bahasa Khmer
Sandal-sandal para murid Tiny Toones yang dilepas sebelum masuk kelas bahasa Khmer

Percakapan selanjutnya saya menanyakan tentang berapa lama ia berada di Tiny Toones. Saya menggunakan gestur menunjuk ke bawah–dengan maksud “di sini”–dan berkatan “when” dan “start” untuk arti mulai sejak kapan. Ia menjawab dengan menunjuk salah satu murid Tiny Toones yang kira-kira masih berusia 7-8 tahun dan berkata “stop school, Tiny Toones (meletakkan tangan di dada) money to University”. Lalu saya menangkap bahwa ia mulai di Tiny Toones sejak usia 7-8 tahun, namun ia berhenti sekolah dan Tiny Toones memberinya beasiswa untuk melanjutkan belajar di Universitas sehingga ia bisa berada di sini untuk mengajar Khmer. Lalu saya menanyakan tentang jadwal ia mengajar dengan cara menunjuk jam tangan dan ruang kelas. Lalu ia menjawab dengan mengeja angka menggunakan jarinya. Tidak lama dari jawabannya terucap, bel tanda masuk kelas berbunyi. Ia pun berkata kepada saya sampai jumpa dan melempar senyum ramah sembari melambaikan tangan beserta kata terima kasih dalam bahasa Inggris. Saya menangkap tanda bahwa ia tidak merasa keberatan dengan percakapan membingungkan yang saya ciptakan ini.

Lalu, setelah saya berbicara dengan salah satu pengajar, percakapan lainnya adalah dengan salah satu murid yang belajar di Tiny Toones. Ia menghampiri saya dan melempar senyuman. Kira-kira ia masih berusia di bawah lima tahun. Lalu saya melambaikan tangan dan berkata “hi”. Ia membalas dengan senyuman dan turut membalas lambaian saya. Saya lemparkan pertanyaan “happy here?” dan ia hanya mengangguk sembari tersenyum. Ia masih tersenyum sembari melihat saya. Saya menangkap bahwa ia masih tertarik untuk terlibat dalam perbincangan yang membingungkan ini. Saya lemparkan pertanyaan lagi untuk mencari tahu darimana ia berasal dengan menyebutkan “house (memperagakan bentuk rumah dan menunjuknya)” sembari menaikkan alis mata dan membuka tangan ke arah atas dengan maksud mempertanyakan. Namun ia memilih untuk tetap tersenyum sembari tetap melihat ke arah wajah saya dan menirukan apa yang saya katakan yaitu “house” dan menunjuk ke arahnya.

Kedua pengalaman itu menyadarkan saya tentang bagaimana bahasa memiliki politik dan kuasanya masing-masing bergantung kepada kegunaan dan cara. Ketika berbicara dengan pengajar, saya meyakini bahwa bahasa tubuh adalah alternatif untuk menuju spekulasi terjemahan yang lain. Tentu saja didukung dengan kuasa bahasa tubuh yang disepakati bersama seperti menunjuk dada sebagai makna paling sederhana dari “saya” dan menunjuk ke bawah sebagai makna paling sederhana dari “di sini”. Kesepakatan ini muncul dari praktik sehari-hari dan pengetahuan tentang gerak tubuh yang paling dasar. Sehingga, bahasa tubuh bisa digunakan untuk merujuk kepada makna paling sederhana dan menjadi alternatif cara menuju spekulasi terjemahan bahasa.

Berbeda kasus dengan pengalaman berbicara dengan salah satu murid. Perbincangan kita berakhir dengan menyebutkan ulang dari kata yang saya bicarakan. Pengalaman ini mengingatkan saya tentang pemaknaan bahasa pada generasi usia yang berbeda. Bagi beberapa generasi awal yang mempelajari cara membaca dan bagaimana orang-orang di sekitarnya beraktivitas, memaknai bahasa sebagai satu hal yang ia dapatkan karena meniru. Nyatanya, memaknai logika sebuah bahasa–verbal dan tubuh–memang butuh proses yang tidak sebentar. Seperti logika bahasa tubuh yang muncul dari praktik keseharian yang terus menerus dilakukan. Sama halnya dengan upaya pendisiplinan tubuh yang dilakukan oleh para penari untuk menerjemahkan kata atau makna menjadi bahasa tubuh tersendiri. Dua pengalaman ini saling menguatkan bahwa bahasa–verbal dan tubuh–memiliki politik dan kuasa nya masing-masing. Dan dalam kasus tertentu, keduanya bisa saling bekerja sama sebagai medium untuk pertukaran pengetahuan tanpa harus menunjukan bahasa tertentu sebagai dominasi kuasa komunikasi yang menyebabkan tersesat dalam penerjemahan adalah satu kegagalan komunikasi.

 

Gatari Surya Kusuma