Catatan Sejarah Indonesia: Sebuah Perspektif Perancis

Diskusi "Catatan Sejarah Indonesia: Sebuah Perspektif Perancis", 11 Maret 2009, di Auditorium LIP. Diskusi ini merupakan kerjasama Lembaga Indonesia Perancis dan KUNCI Cultural Studies Center. Dalam foto, dari kiri ke kanan: Bambang Purwanto, Antariksa (moderator), Remy Madinier, Lesmana (penerjemah).
Diskusi “Catatan Sejarah Indonesia: Sebuah Perspektif Perancis”, 11 Maret 2009, di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis (LIP). Diskusi ini merupakan kerjasama LIP dan KUNCI Cultural Studies Center. Dalam foto, dari kiri ke kanan: Bambang Purwanto, Antariksa (moderator), Remy Madinier, Lesmana (penerjemah).

 

Oleh REMY MADINIER 

 

Presentasi ini tidak akan menawarkan pemandangan dari semua pengaruh pemikiran historis Perancis pada sejarah Indonesia. Sejarawan Indonesia tentunya memiliki posisi yang lebih baik daripada saya untuk melakukan hal ini. Saya hanya ingin memberi beberapa pikiran untuk mencoba memahami mengapa sebuah aliran sejarah tentang Indonesia berkembang di Perancis dan apa karakteristiknya.

Ilmu sejarah Perancis tentang Indonesia berada di persimpangan dua tradisi: yang pertama adalah dari Ecole Francaise d’Extreme Orient (suatu lembaga penelitian tentang Asia, bukan sekolah) yang didirikan pada 1900; yang kedua adalah suatu aliran historis yang disebut Nouvelle Histoire (sejarah baru) dan merupakan perpanjangan dari tradisi Ecole des Annales yang memasuki area studies di Perancis.

EFEO telah memiliki peran untuk Indocina Perancis, peran yang bisa dibandingkan dengan lembaga penelitian Belanda untuk Jawa: lembaga ini berpartisipasi dalam sebuah interpretasi kolonialis dari sejarah, yang kurang lebih berkontribusi langsung dalam membenarkan penjajahan Eropa. Ini adalah kesalahan Orientalisme yang sering mengadukan secara berlebihan.

Untuk alasan ini EFEO telah diusir di tahun 1957 dari Hanoi. Hal ini memberikan kesempatan untuk mengembangkan institusi ini di tempat lain, khususnya di Indonesia. EFEO menjadi sebuah alat luar biasa untuk untuk pengembangan studi arkeologi karena telah memungkinkan para peneliti untuk tinggal bertahun-tahun di negara yang mereka pelajari. Hal ini menjelaskan pentingnya studi Perancis di Indonesia dalam bidang ini (Jacque Dumarçay di Borobudur, Pierre-Yves Manguin di Srivijaya, Claude Guillot dan Daniel Perret di Banten dan Barus).

Alasan pertama untuk pengembangan aliran sejarah Perancis tentang dunia Melayu pada awal abad kedua puluh adalah kenyataan bahwa ilmuwan Perancis di sini lebih bebas daripada ilmuwan Inggris dan Belanda karena tidak ada isu kolonial. Ini menjelaskan karya Georges Coedes dan Gabriel di Srivijaya pada awal 1920, yang diikuti oleh Charles-Louis Damais pada 1950an. Lalu studi Perancis tentang Indonesia mengalami perkembangan besar dari akhir tahun 1960an dengan kelompok kecil peneliti yang kemudian mendirikan majalah ilmiah Archipel.

Beberapa alasan menjelaskan vitalitas ini.

Yang pertama berkaitan dengan apa yang kami jelaskan sebelumnya: kurangnya emosi isu politik dengan pengalaman kolonial. Ini membantuk untuk membuat hubungan dengan mudah dengan para ilmuwan Indonesia. Dan juga sekelompok peneliti Perancis tidak kenal pemecahan dan konflik politik seperti kolega mereka yang meneliti bekas Indocina. Alasan yang kedua ini merupakan perkembangan satu generasi baru yang antusias dengan satu bidang penelitian dimana semuanya harus dilakukan di Perancis. Antusiasme ini bertemu dengan dua aliran ilmu baru: la nouvelle histoire dan area studies yang alat teoretis.

Di persimpangan dua aliran ini ada seorang yang luar biasa, Denys Lombard—pewaris George Cedes dan murid Louis Charles Damais. Ayahnya, Maurice Lombard (ahli sejarah Muslim Mediteranis di abad pertengahan) sangat dekat dengan kepala aliran Ecole des Annales, Fernand Braudel dan Denys berpartisipasi dalam perkembangan area studies di EHESS.

Apa itu Ecole des Annales dan nouvelle histoire?

Majalah Les Annales yang dipimpin oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch didirikan sekitar awal 1930an. Aliran sejarah ini mempengaruhi seluruh sejarah Perancis sampai tahun 1980an.

Aliran sejarah ini punya 3 ciri khas:

1.Pengakuan sejarah terhadap kontribusi ilmu sosial yang lain
-Sosiologi yang berperan penting dalam kritik tradisi sejarah Perancis yang sebelumnya dengan 3 idolanya yaitu: idola politik, idola individu, dan idola kronologis
-Geografi versi baru dengan Vidal de la Blache yang produksi studi daerah, dalam bentuk inventaris, tetapi dalam jangka panjang, dan studi hubungan kompleks antara kelompok-kelompok sosial.

2.Sebuah sejarah di atas semua ekonomi dan social. Sejarah politik pada umumnya ditinggalkan

3.Penolakan atas scientism
Pendiri Annales menolak metodologi abstrak apapun. “Ide sejarawan berasal dari sejarah itu sendiri”, kata Lucien Febvre. Mereka hanya terfokus pada beberapa prinsip metode, terutama pencarian dari realitas di balik kata-kata, perluasan konsep sumber sejarah di bidang tidak tertulis (ikonografi, arkeologi) dan yang paling penting, bila memungkinkan, praktek sejarah komparatif.

Setelah 1945 sekolah Annales menerima legitimasi institusi.

Generasi baru yang muncul setelah perang segera didominasi oleh Ferdinand Braudel. Aliran Annales kemudian memasuki tahap konsolidasi birokrasi tahun 1947 dengan pendirian seksi ke enam di Ecole Pratique des Hautes Etudes dengan program yang sama dengan majalah Annales. Kemudian seksi ini menjadi EHESS pada tahun 1975 melalui hibah dari Ford Foundation yang diperoleh Braudel.

La nouvelle histoire “sejarah baru” adalah pewaris dari Ecole des Annales.
Piagamnya diterbitkan tahun 1974 dalam bentuk buku kolektif “membuat sejarah” tiga kumpulan artikel yang menimbulkan “masalah baru”, mencari “pendekatan baru” dan mengenali “benda baru”.

Historiografi Perancis tentang Indonesia ditandai dengan beberapa elemen dari nouvelle histoire ini.

-Satu antropologi histories non-structuralist
Antropologi yang lama hanya berupa cerita rakyat atau etnologi kolonial, para sejarawan nouvelle histoire telah ditemukan dan diberikan metode baru, seperti studi lapangan, survei lisan, ikonografi. Dengan pengaruh antropologi, penelitian sejarah baru berorientasi dalam dua arah: sejarah budaya materi (pakaian, makanan, …) dan sejarah mentalitas. Namun Archipel tetap bertentangan dengan strukturalisme yang dinilainya terlalu dogmatis.

-Konsep area studies yang dikembangkan di EHESS sangat mempengaruhi Archipel dalam keinginan untuk memusatkan Indonesia di atas sejarahnya sendiri dan menempatkannya di dalam sejarah Asia Tenggara. Misalnya dalam pendahuluan buku Sultanat d’Atjeh au Temps d’Iskandar Muda (1607-1636) (Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Muda (1607-1636) yang diterbitkan pada tahun 1967, Denys Lombard menyatakan keinginan untuk memperhitungkan gerakan yang benar-benar Asia untuk memikirkan kembali periodisasi sejarah lokal.

-Satu keinginan terhadap sejarah global
Judul dari buku kerajaan Aceh pada zaman Iskandar Muda (1607-1636) tentu saja merujuk pada karya Braudel pendiri “The Mediterania pada saat Philippe 2”. Itu adalah sejarah ekonomi, social, politik dan budaya dan kehidupan sultan hanya dibahas pada bab terakhir. Buku Claude Guillot tentang Kyai Sadrach juga tipikal dalam hal ini dengan keinginan untuk memahami Indonesia secara global dengan fokus pada ilmu sejarah. Karya yang paling spektakuler dalam rangka ini adalah Nusa Jawa Silang Budaya dengan sub judul dalam bahasa Perancis “sebuah esai sejarah global”. Di atas segalanya, buku ini adalah sejarah budaya dan social yang merupakan pendekatan stratigraphic dalam tiga tahap yaitu: pengaruh budaya Barat (dianggap sangat terbatas), Asian network (termasuk Islam) dan warisan kerajaan konsentris. Karya monumental ini menggantikan sejarah Jawa dalam berbagai pengaruh. Ia terutama penting sekali untuk mengerti kontribusi orang Cina dalam sejarah ini (Denys Lombard dan istrinya Claudine Salmon adalah ahli Cina) dan untuk mengerti peran Islam dalam kedatangan modernitas Barat di Indonesia.

Publikasi dan analisis kritis dari sumber kolonial dan pribumi

Karya Marcel Bonneff tentang Perigrinations Javanais atau Serat Centhini karya Henri Chambert-Loir tentang sastra kuno dan kontemporer adalah contoh bagus dari metode yang sangat pragmatis dan pintar (erudite), yang menganalisa sumber-sumber ini dalam konteks sejarah, jauh dari teori sastra yang sclerosantes. Tentang pragmatisme ini dan ketertarikan terhadap sejarah, kita juga harus mengutip Pierre Labrousse yang karyanya mempelajari Indonesia melalui bahasanya daripada mempelajari teori linguistik.

Kesimpulan

Pengaruh historiografi Perancis tentang Indonesia terutama merupakan hasil dari tim kecil yang mempunyai kesempatan untuk “reinvent” ilmu orientalis pada awal tahun 1970an. Tim ini sangat bersatu, ia bekerja sebagai tim penelitian di EHESS dan EFEO, tetapi juga sebagai satu perkumpulan dan hampir seperti sebuah keluarga. Tentu saja ada kelompok penelitian yang lain di Perancis tentang Indonesia tetapi mereka tidak pernah memiliki kohesi yang diberikan oleh majalah Archipel.

Di pusat aliran sejarah ini, Denys Lombard memiliki peran yang hebat. Seperti ayahnya yang melakukan sejarah dari Mediterania timur abad pertengahan, ia memiliki mimpi luar biasa: menulis sejarah Mediterania Asia Tenggara.

Penulis adalah Peneliti di IRASEC (Research Institute on South East-Asia)

** Makalah ini disampaikan dalam seminar bertema: Catatan Sejarah Indonesia : sebuah Perspektif Prancis, pada hari Rabu, 11 Maret 2009 sebagai mata rangkai Public Culture Series bertajuk: Pemikiran Kritis Prancis dan Implikasinya di Indonesia Sekarang ini