Seminar “Purloined Letter” (Bagian III dari IV), Jacques Lacan

Ilustrasi: Gareth Southwell http://www.woodpig.com/
Ilustrasi: Gareth Southwell http://www.woodpig.com/

Marilah kita lihat secara lebih dekat pada apa yang terjadi dengan polisi, semua prosedur pencarian sudah dilakukan dalam proses penyelidikan mereka, membagi ruang-ruang menjadi petak-petak sehingga tak ada satupun tumpukan yang tak terdeteksi, sampai pencarian yang tidak perlu pada bantalan kursi, mengetuk-ngetuk kayu, mengintip ke lubang-lubang dan celah terkecil, membolak-balik halaman pada buku, menghitungnya satu persatu sampai di titik mana kita melihat ruangan itu malah berguguran layaknya surat.

Hanya saja para detektif tersebut tetap memiliki pengertian yang tak tergeserkan pada yang nyata, sehingga mereka gagal untuk memahami bahwa pencarian yang mereka lakukan sedang berubah menjadi obyek itu sendiri. Dengan mencirikannya mereka berpikir akan dapat menemukan surat itu di antara barang-barang lain.

Sungguh sesuatu yang tidak dapat diharapkan dari mereka, bukan karena secara individual maupun kolektif mereka adalah mahluk yang tolol, tetapi karena ketololan itu justru bersumber dari subyektifitas itu sendiri.

Merupakan kebodohan seorang realis ketika ia tidak berhenti mengobservasi padahal sedalam apapun tangan mereka merogoh untuk mencari surat itu, surat itu selamanya akan tersembunyi di sana, karena selalu ada tangan lain yang dengan mudah dapat mengambilnya, karena yang tersembunyi tak pernah hilang dari tempatnya. Ketika di perpustakaan diumumkan tentang buku yang hilang, buku itu hanya terselip di rak sekitar atau bahkan sebelahnya, namun buku itu akan terus tersembunyi di sana bagaimanapun ia sebenarnya terlihat. Maka secara harfiah dapat dirumuskan sesuatu benar-benar hilang ketika ia tergantikan oleh yang simbolik. Karena benda yang nyata, seberapapun keras ia diguncang, akan tetap melekat pada tempatnya semula.

Dan kembali kepada polisi kita, yang telah mengambil surat itu dari tempatnya disembunyikan, bagaimana mungkin mereka dapat menemukannya surat itu? Padahal sesuatu itu sudah mereka bolak-balik dengan jari mereka sendiri, sesuatu itu sudah ada di tangan mereka namun tidak juga karena pegang karena sesuatu bukanlah surat seperti yang telah dideskripsikan. Selembar surat, seonggok sampah, (a letter, a litter) seperti pepatah Joyce. Tidak sedikitpun terlintas di benak mereka bahwa surat yang sedang mereka cari-cari kini dalam keadaan setengah robek, dengan cap yang dibubuhi warna berbeda, torehan tangan yang berbeda, yang justru malah menjadi teknik menyembunyikan yang paling ampuh.

Dan jika pencarian mereka terpaku pada sisi balik dari surat sudah dibubuhi alamat penerima pada waktu itu, maka surat pun hanya akan tampak dari sisi yang itu-itu juga.

Apakah yang dapat mereka pelajari dari pengamatan ini? Pesannya kah? Seperti yang diungkapkan daya khayal kita sendiri? Apakah terpikirkan oleh kita bahwa pesan itu sendiri sebenarnya sudah diterima oleh Ratu dan disimpan baik-baik sehingga kertas lecek itu sebenarnya tidak lebih baik dari lembar aslinya.

Jika kita nyatakan bahwa sebuah surat sudah memenuhi takdirnya dengan menjalankan fungsinya, maka semua surat cinta tak perlu dibalas. Penanda tidaklah fungsional. Dan jika surat tersebut punya fungsi, maka sebenarnya tidak ada guna kita bersusah-payah mengamati senda gurau masyarakat elegan yang termobilisasi ini. Lagipula fungsi juga tidak akan menyumbang banyak arti bagi proses penyidikan polisi.

Kita bahkan dapat mengatakan bahwa surat itu memiliki arti yang berbeda sama sekali bagi Ratu, yang kemudian tercermati juga oleh Menteri. Namun pesan ini tidak akan banyak memengaruhi jalan cerita, bahkan oleh pembaca awam yang kurang memahami sekalipun.

Karena pesannya memang bukan untuk semua orang, seperti yang diselorohkan oleh Prefek: “bahwa pengungkapan isi dokumen ini kepada pihak ketiga, siapapun itu, akan membuat kehormatan seseorang yang menduduki jabatan penting dipertanyakan, bahkan kehormatan dan keamanan orang tersebut menjadi terancam.”

Oleh karena itu, bukan hanya arti dari pesan itu yang dianggap berbahaya jika beredar, bahkan teks nya juga, sampai pada suatu titik yang malah ia menjadi tampak tidak berbahaya, yaitu ketika dengan tanpa sengaja, orang yang memgang surat tersebut malah terkena resiko dianggap melakukan pencabulan.

Tidak ada yang dapat memperbaiki posisi polisi, juga dengan mengembangkan budaya mereka. Scripta moment; dengan sia-sia mereka akan belajar dari kemanusiaan mengenai kiasan yang disimpulkan dalam verba volant [16]:

Semoga tulisan lah yang bertahan karena kata-kata verbal tidak dapat diasosiasikan dengan transferensi [17].

Tulisan demi tulisan terserak di angin, cek-cek kosong pada urusan kegilaan. Dan bukankah tanpa daun yang berterbangan takkan ada surat yang hilang? [18]

Lantas milik siapa surat yang dicuri itu sebenarnya? Kita tahu bahwa ada keganjilan di balik tindakan pengembalian sebuah surat yang sudah terkirim. Secara umum kita menganggapnya sebuah pungungkapan prematur yang tidak pantas seperti yang dilakukan Chevalier d’Eon pada kawan-kawannya yang malang [19].

Dari amatan kita akan jelas terlihat bagaimana cerita ini mengabaikan secara total si pihak pengirim surat, kita hanya diceritakan bagaimana Menteri dengan segera mengenali tulisan tangan di alamat dan secara tak sengaja, dalam percakapannya yang sambil lalu, ia melihat stempel asli yang menunjukkan lambang keluarga bangsawan S__. Sedangkan penerima surat hanya tahu bahwa akan ada bahaya mengancam jika surat tersebut sampai jatuh ke pihak ketiga, dan kepemilikan Menteri atas surat itu memberikannya kekuasaan, sampai pada tingkat yang membahayakan pada tingkat tujuan politik.Surat itu memberikan semacam kekuasaan pada yang memegangnya.

Tapi dari semua penjelasan tidak satupun yang menyatakan apa sesungguhnya isi surat tersebut, surat cinta atau surat konspirasi, surat pengkhianatan atau surat perintah, surat pemanggilan atau surat permintaan tolong: kita hanya yakin pada satu hal, yakni Ratu jangan sampai membiarkan informasi tersebut diketahui oleh Raja.

Situasi ini, jauh dari nuansa olok-olok khas komedi borjuis, merupakan sindiran terhadap Ratu sekaligus Raja yang telah dinikahinya dan karenanya perannya kini bukan hanya istri dan warga negara tapi juga penjaga dari kerajaan, yang berdasarkan hukum merupakan penjelmaan dari kekuasaan atau yang disebut legitimasi.

Dan sejak itu sikap apapun yang Ratu kenakan pada surat itu tidaklah berpengaruh, karena sudah ditetapkan bahwa surat itu adalah simbol kesepakatan dan meskipun pihak yang menerima tidak menyadari akan adanya kesepakatan apapun, keberadaan surat tersebut menempatkannya pada rantai simbolik, meskipun itu berlawanan dengan nilai-nilai yang dipercayanya. Ketidakcocokan ini dapat dilihat dari fakta bahwa kepemilikannya atas surat tersebut tidak terbuka pada publik, tidak legitimate dan untuk memaknai kepemilikannya sang Ratu harus menuntut haknya akan privasi.

Karena dia yang mewakili figur pemerintahan tidak diijinkan melakukan komunikasi privat tanpa melibatkan kekuasaan dan Ratu juga tidak diperbolehkan menyimpan rahasia dalam hubungannya dengan pemerintah tanpa menjadi sembunyi-sembunyi. Sejak itu tanggung jawab penulis surat menjadi di bawah pemegang, karena kejahatan terhadap kerajaan dianggap pengkhianatan tingkat tinggi.

Kita menyebutnya pemegang dan bukan pemilik, karena jelas kepemilikan penerima adalah sesuatu yang masih dapat diperdebatkan, karena surat itu bisa jatuh ke tangan siapa saja, karena keberadaan surat tersebut baru bisa diketahui tempat aslinya jika orang yang haknya dilanggar mengajukan kepentingannya atas surat tersebut.

Semua ini tidak berarti kerahasiaan surat menjadi sesuatu yang tak pantas dibela,namun pengkhianatan atas surat menjanjikan kehormatan yang lebih tinggi. Honesti homines, orang beradab, tidak akan melepaskannya begitu saja. Ada lebih dari satu religio and tinggal menunggu waktu sebelum ikatan-ikatan suci itu mengoyak-ngoyak kita. Sedangkan ambitus: memutar balik, tidak selalu didorong oleh ambisi. Karena jika itu yang kita lakukan sekarang, dengan jujur mengakui bahwa kita meminjam istilah yang dipakai Baudelaire untuk menekankan (atau tidak?) kondisi konvensional dari penanda dalam hubungannya dengan petanda. Tetap saja, di luar pengabdiannya, Baudelaire mengkhianati Poe dengan menerjemahkan “Surat yang Hilang” (The Purloined Letter) menjadi “Surat yang Dicuri” (La Lettre Volee). Sedangkan “The Purloined Letter” lebih mudah didefinisikan secara etimologis meskipun jarang terdengar.

To purloin, menurut kamus Oxford adalah bahasa Anglo-Prancis, terdiri dari prefiks pur- dan kata lama Prancis:loing,loigner, longe. Kata pur- berasal dari bahasa Latin pro- yang berlawanan dengan ante-, merujuk pada ujung depan yang sifatnya menjamin bahkan berjanji (ante– artinya melawan apa yang dihadapi). Sedangkan loigner adalah kata kerja yang mengikuti tempat au loing (atau masih sering digunakan: longe) bukan berarti au loin (jauh) tapi au long de (sepanjang), yang merujuk pada menyingkirkan atau menandakan ekspresi yang bermain-main pada dua pengertian mettre a gauche (untuk meletakkan di kiri; untuk salah meletakkan).

Sehingga putaran balik ini menegaskan kepada kita bahwa kita sedang berurusan dengan surat yang digeser dari jalurnya, yang alurnya diperpanjang atau untuk merujuk pada istilah kantor pos a letter in sufferance [20].

Di sinilah, sederhana dan ganjil, seperti yang dikatakan pada halaman pertama, direduksi pada ekspresi paling sederhana, yaitu singularitas (ketunggalan) dari surat, seperti yang ditunjukkan oleh judul bahwa subyek sebenarnya dari cerita adalah surat itu, yang memunyai alur yang seharusnya ia lalui, ciri di mana insiden sebagi penanda diafirmasi. Alur itu juga dibentuk oleh pengertian kita telah mengenai penanda sebagai sesuatu yang ada pada dirinya sendiri, yang dapat ditengarai dari displacement sebagai mesin ingatan yang dioperasikan oleh pergerakan simbolik.

Inilah yang terjadi dalam otomatisme repetisi (repetition automatism), seperti yang diungkapkan Freud kepada kita, bahwa subyek harus melalui saluran simbolik, namun yang dijelaskan di sini tak kalah mengagetkan, bahwa bukan hanya subyek, tapi banyak subyek yang dicermati dalam intersubyektifitasnya kemudian berjejer kemudian membentuk keberadaan mereka pada momen, di mana kemudian mereka dilintasi oleh rantai signifying.

Arti temuan Freud ini adalah pengubahan tempat penanda menentukan subyek-subyek dalam tindakannya, dalam takdir mereka, dalam penolakan mereka, dalam kebutaan mereka, pada akhir dan nasib mereka, tanpa memandang bakat alam serta tugas sosial mereka, karakter atau jenis kelamin, tanpa melihat apakah mereka mau atau tidak; apapun yang bekerja di bawah hukum psikologi akan mengikuti jejak penanda.

Kita kembali pada persimpangan di mana kita meninggalkan drama dengan mempertanyakan cara subyek saling menggantikan satu sama lain. Fabel ini sedemikian terkonstruksikan dalam menunjukkan surat dan pengalihannya yang mengatur peran, agar kita sama tersesat nya(in sufferance). Dengan ambiguitas bahasa, dapat dikatakan menjadi pemilik surat berarti juga dimiliki oleh surat.

Sehingga seperti ditunjukkan oleh protagonis dalam drama ini, dalam pengulangan situasi di mana keberaniannya menghasilkan kemenangan pada kali pertama. Pada babak kedua ia harus menerima kekalahan karena posisinya telah bergeser dari yang ketiga menjadi yang yang kedua dalam hubungan segitiga, -demikianlah dia menjadi yang dicuri, berkat nilai dari obyek yang dicurinya.

Sampailah kita kepada pertanyaan sebelumnya, sebuah pertanyaan untuk melindungi surat tersebut dari pandangan ingin tahu, dia tidak dapat melakukan apa-apa kecuali melakukan hal yang belum lama ia menangkan: Membiarkannya dalam keadaan terbuka? Dan wajar jika kita meragukan kalau dia menyadari apa yang sedang ia lakukan, ketika kemudian kita melihatnya terlena pada hubungan dualisme, ciri yang kita temukan pada godaan mimetik ataupun ketika binatang berpura-pura mati, dan terperangkap dalam situasi imajiner, menyangka bahwa dia tak dapat dilihat; sebuah penangkapan yang salah atas situasi yang riil bahwa dia terlihat sedang tak melihat.

Apakah yang gagal untuk dilihatnya? Tepat pada situasi simbolik yang tadinya dengan begitu jelas ia lihat, yaitu bahwa sekarang dia terlihat sedang melihat dirinya tak terlihat.

Menteri bertindak seperti seseorang yang mendapat perlindungan dari pencarian polisi, seperti telah dinyatakan bahwa dia memberikan mereka akses total dengan ketidakhadirannya, namun ia gagal menyadari bahwa di luar penggeledahan tak ada lagi yang bisa melindunginya.

Kepiawaiannya hanya sebatas burung onta, tapi bukanlah sekedar ketololan satu-satunya penyebab ia dipermainkan.

Karena dalam berperan sebagai yang bersembunyi ia harus mengenakan peran Ratu, lengkap dengan atribut feminin dan bayangannya, sebagai satu-satunya cara menyembunyikan.

Bukan maksud kami untuk mereduksi pasangan kuno Yin dan Yang, menjadi Gelap dan Terang. Karena kegunaan seperti itu akan sama membutakannya dengan kilat lampu.

Di sini tanda dan kedirian (sign dan being) yang tampak terpisah mengungkapkan suatu kemenangan jika terlibat dalam suatu konflik. Seorang lelaki yang cukup berani menentang sampai melampaui titik penghinaan terhadap kemarahan terhebat dari seorang perempuan berarti juga berhasil melampaui titik metaformosa dari kutukan tanda yang dicuri darinya.

Karena tanda dari perempuan, sejauh mana ia mengidentifikasikan dirinya pada tanda tersebut, didirikan di luar hukum, yang dilihat dari asalnya maka tempat sejatinya sebagai penanda adalah di bawah hukum, bahkan semacam fetish [21]. Untuk mempertahankan kekuatan dari tanda tersebut, perempuan harus tetap diam berlindung di balik bayang-bayang, maka terjadilah kasus seperti yang dialami kasus Ratu, simulasi atas kemahiran dalam diam (simulation of mastery in inactivity) [22] yang hanya bisa ditembus ketajaman mata Menteri.

Tanda yang dicuri sekarang berada dibawah penguasaan laki-laki, di mana nilai kejahatan yang dikandungnya hanya didukung oleh kehormatan yang ditentangnya, yang mengutuk siapapun yang memiliki tanda itu dengan hukuman atau kejahatan, dan akhirnya menempatkan laki-laki di bawah Hukum.

Maka pastilah di dalam tanda ini, noli me tangere yang tunggal (singular) bagi kepemilikan, karena ia membuat laki-laki mengalami keadaan jumud. (state of idleness).

Seperti yang dikatakan narator pada awal cerita, kekuatan surat akan menghilang begitu ia digunakan, menurut kami artinya adalah justru penggunaannya adalah untuk mengakhiri kekuatannya, dan pada saat yang bersamaan penggunaannya menjadi semacam kewajiban bagi Menteri.

Karena tahu bahwa dia tak mampu menyingkirkannya lagi, maka mustinya Menteri tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap surat itu. Karena hal ini akan membuatnya bergantung total kepada surat itu, sehingga dalam jangka panjang surat itu menjadi kehilangan arti sama sekali.

Kegunaan lain yang mungkin melibatkan surat tersebut adalah bisa saja Menteri, karena merasa terpanggil oleh tugasnya mengabdi kepada Raja, memberi peringatan secara halus kepada Ratu, tentunya setelah sebelumnya dia menyiapkan langkah pencegahan bila kasus ini berlanjut. Atau dia bisa mengambil tindakan terhadap penulis surat, sejauh mana fakta bahwa dia berada di luar fokus cerita, menunjukkan bahwa bukan salah menyalahkan yang menjadi tema di sini, melainkan tanda kontradiksi dan tanda yang disebabkan oleh surat, yang dalam Alkitab dinyatakan: ..akan datang jua tanpa memandang penderitaan pada siapapun yang berperan sebagai penanggung..-atau bahkan menyerahkan surat tersebut kepada pihak ketiga yang cukup berwewenang untuk mengedarkannya dalam pengadilan untuk mempermalukan Ratu atau Menteri.

Kita tidak akan tahu alasan mengapa Menteri tidak memilih salah satu kegunaan ini. Maka menjadi langkah yang tepat untuk tetap mengingat bahwa hanya pengaruh dari keputusan tidak menggunakan ini yang menjadi persoalan, cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa cara surat itu diambil tidak menyebabkan masalah di antara mereka.

Karena jelas penggunaan surat, di luar artinya, merupakan keharusan bagi Menteri, kegunaannya yang sama saja memusnahkan kekuatannya hanya akan menjadi sesuatu yang potensial, karena ia tidak akan menjadi aktual tanpa lenyap di tengah proses- namun dalam kasus itu,surat tersebut hadir sebagai ukuran kekuatan hanya dalam pertemuan akhir dari penanda murni,yaitu dengan memperpanjang pengalihannya, membuatnya mampu meraih siapapun yang bersangkutan melalui transfer pelengkap, yaitu dengan aksi pengkhianatan tambahan. Dampaknya, daya tarik surat menjadi sukar diramalkan – atau malah dengan menghancurkan surat itu sendiri, sebagai satu-satunya cara yang pasti, seperti yang dikatakan Dupin, ” tersingkirkan dari yang ditakdirkan alam untuk memaknai penihilan atas apa yang dimaknainya.”(being rid of what is destined by nature to signify the annulment of what it signifies)

Kekuasaan yang diperoleh Menteri dari situasi ini adalah bukan fungsi dari surat tapi entah dia sadar atau tidak, peran yang telah diberikan surat itu padanya. Dan pernyataan Prefeks bahwa “memang dialah yang melawan semua hal” yang dibalas dengan komentar ” mereka yang tidak menjadi dan juga yang menjadi seorang lelaki” (those who unbecoming as well as becoming of a man)kata yang kedalamannya gagal ditangkap Baudelaire ketika dia menerjemahkan ce qui est indigne d’un homme aussi bien que ce qui est digne de lui atau “mereka yang menjadi seorang lelaki dan juga yang menjadinya” (those becoming a man as well as those becoming him). Karena dalam bentuk aslinya, pendekatan ini menjadi lebih cocok kalau dihubungkan dengan perempuan.

Catatan Kaki

  1. Ungkapan Latin Scripta manent sed verba volant: yang tertulis bertahan tapi yang dikatakan terbang menjauh.
  2. Catatan penerjemah: transference adalah istilah psikoanalisa, merujuk pada reproduksi dari emosi yang berhubungan denga pengalaman yang direpresi, terutama pada masa kanak kanak dan pengganti atas orang lain, dalam psikoanalisis untuk obyek asli dari dorongan yang direpresi (Webster New 20th Century Dictionary,1970)
  3. Dari contoh yang disampaikan Lacan mengenai berkas kosong yang tidak disampaikan pada penerima yang berhak . dalam analisanya dikatakan seseorang menemukan hutang simbolik dibayarkan pada orang yang salah. Pada saat yang bersamaan si gila terobsesi pada kualitas pembayaran menjadi laten dalam kegiatan ini. Fuilles volantes dan lettress volee, memberikan arti yang berbeda pada kata yang sama dalam Prancis.
  4. Chevalier d’Eon adalah Charles de Beaumont (1728-1810) seorang mata –mata Louis XV yang ditugaskan di pengadilan Rusia dan Inggris. Dia menyamar pertama kali sebagai seorang perempuan di Rusia agar dapat mendekati Ratu. Dan kemudian di London kegiatannya ketahuan oleh pengadilan Inggris, pemerintah Prancis kemudian memaksanya untuk menyerahkan surat-suratnya termasuk mengungkapkan dengan siapa ia berkorespondensi.
  5. Catatan penerjemah: menerjemahkannya secara bebas jika melalui penalaran awam terhadap pola yang melatari surat menurut Lacan, maka penerjemah akan menafsirkan bahwa surat itu tersasar. Namun arti harfiah sufferance dalam Webster New 20th Century Dictionary,1970 penerjemahannya menjadi penderitaan atau toleransi kepada kesakitan sehingga penerjemah akan membiarkan kata tersebut disampaikan dalam bentuk aslinya, meskipun berikutnya Lacan akan sering menggunakan istilah ini.
  6. Dalam fiksi Poe, surat itu adalah tanda ketidaksetiaan Ratu pada Raja sehingga menempatkannya di luar hukum. Posisi perempuan sebagai signifier mengingatkan kita pada tesis Levi-Strauss mengenai larangan inses: bahwa asal mula bahasa dan budaya melibatkan kesepakatan mengenai tata-cara pertukaran perempuan antar kelompok, (sehingga perempuan menyimbolkan kesepakatan).
  7. Simulasi dari penguasaan dalam kediaman (simulation of mastery in inactivity) menempatkan perempuan dalam kepasifan dalam artian aktif, menentukan dan konteks taktik sehingga tidak dapat diartikan sebagai bawaan biologis.

Diterjemahkan oleh FERDIANSYAH THAJIB dari John P. Muller dan William J. Richardson (eds.), 1998, The Purloined Poe, Lacan, Derrida and Psychoanalytic Reading, London, The John Hopkins University London @1998