Seni dan Dongeng Kancil dalam Pendidikan di Taman Siswa

“Kita mengutamakan kesenian nasional, maka di situ kita dapat menanam benih atau bekal budi pekerti (watak atau tabiat) yang akan merapatkan jiwa anak dengan kebangsaannya. Sedangkan mata pelajaran kesenian, kita dapat memasakkan jiwa dan raga anak, hingga kelak menjadi derajat manusia utama serta dapat menyusun perikehidupan yang pantas dalam masyarakat yang akan dipikul bersama-sama oleh mereka sekalian” (Ki Hadjar Dewantara, Majalah Pusara, 1940).

Ki Hadjar Dewantara memandang Seni sebagai medium untuk “memasakkan jiwa dan raga anak, hingga kelak menjadi derajat manusia yang utama”. Salah satu contoh yang menarik di Taman Siswa adalah pembelajaran Seni Sastra (Tulis dan Lisan), Sari Swara dan Langen Carita (Opera Jawa) dengan menggunakan salah satu versi Serat Kancil (sekarang ada di koleksi Museum Dewantara Kirti Griya) karangan ayahanda Ki Hadjar Dewantara, K.P.H. Sasraningrat (Paku Alam IV). Selain diceritakan di dalam kelas, dongeng kancil juga digubah menjadi Langen Carita. Para pamong (pengajar/pendamping) Taman Siswa percaya bahwa ketika siswa mempraktekkan peran, gerak, tari, dan suara, maka mereka akan mampu meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Ini selaras dengan konsep Ki Hadjar Dewantara Tri Na (Tiga N): Nonton (melihat/mengamati), Niteni (mengingat/menandai), dan Niru (mencontoh/meniru).

Soal-soal tersebut akan dibahas oleh Rendra Agusta, peneliti dan pustakawan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, dalam diskusi “Seni dan Dongeng Kancil dalam Pendidikan di Taman Siswa”:

Senin, 30 Mei 2016, mulai 15.00
KUNCI Cultural Studies Center
Jln. Ngadinegaran MJ III No. 100 (Gang Melati) Yogyakarta
Gratis dan terbuka untuk umum

Acara ini merupakan bagian dari “School of Invisible Economy” KUNCI Cultural Studies Center.